Aku hanya mengangguk, lalu dia mengajak aku naik sepeda motornya menuju gedung sekolah karena masih sekitar lima ratusan meter lagi. Apalagi kondisiku luar biasa pusing. Aku berpegangan pada pinggangnya karena kepalaku serasa berputar.
"Aku pusing," keluhku.
"Ya sudah, pegangan! Jangan jatuh, ya!" lirihnya.
Turun dari sepeda motor, tak urung aku pun terhuyung-huyung. Tumbang.
"Nah, 'kan ... kamu ke UKS saja. Mari kubantu!" serunya bergegas menopangku.
Akhirnya, aku harus digendong Arnold menuju ruang UKS dan langsung dikerubuti teman-teman yang sudah hadir.
Singkat cerita, aku tidak diizinkan masuk kelas, tetapi diteleponkanlah kedua orang tuaku. Dimintanya orang tua hadir menjemputku di sekolah. Aku memperoleh izin, beristirahat di rumah selama tiga hari.Â
Karena khawatir, orang tua membawaku ke klinik swasta untuk memperoleh pemeriksaan dokter. Alhasil, aku memperoleh sejumlah obat dan vitamin untuk kukonsumsi beberapa hari ke depan.
Sebenarnya, bukan rasa senang yang meliputi hatiku tatkala memperoleh izin tidak masuk, melainkan sebaliknya: rasa sedih dan sesal. Sedih karena harusnya aku kuat untuk menjalani perjalanan dengan moda transportasi murahan itu. Diam-diam aku  bertekad untuk berlatih dengan setiap hari berharap bisa naik angkot agar beradaptasi. Menyesal juga karena aku tidak memperoleh asupan pelajaran selama memperoleh izin tidak masuk sekolah.Â
"Ah, kenapa harus sakit segala sih?" senandikaku.
Ya, sudahlah, waktu istirahatku akan kugunakan browsing di internet agar waktuku tidak terbuang percuma.