Sore hari beberapa teman menanyakan kabarku dan hanya kepada Arnold kukatakan, "Kak, beritahukan teman-teman, aku baik-baik saja. Hanya masih lemas dan pusing. Mohon maaf sampaikan kepada mereka aku tak bisa membalas pesannya," tulisku.
"Oke, baiklah," balasnya. "Istirahat saja, besok sore catatan dan materi kusampaikan ke rumahmu."
"Nggak usah repot. Minggu saja ke rumah, ya," sambungku.
"Baik. Sepakat."
***
Saat diizinkan beristirahat di rumah karena alasan sakit itu, tetiba aku memperoleh pencerahan. Kutemukan artikel inspiratif  tentang bagaimana seseorang harus menghargai sesamanya. Kisah yang sangat bagus dan sukses menggelitik nurani. Kucoba merangkum kisah dari artikel tersebut seperti berikut.
Siang itu sepasang suami isteri paruh baya dengan mengenakan busana lusuh sedang menunggu untuk bertemu petinggi salah sebuah perguruan tinggi terkenal. Namun, petugas sengaja mengulur waktu dengan mengemukakan kepada atasan bahwa ada rakyat jelata yang hendak menemui beliau. Hal ini dikatakan sebab sang petugas berpikir orang kampung dan udik ini tidak pantas berhubungan dengan mereka. Setelah sekitar empat jam menunggu, sang direktur pun bersedia bertemu dengan mereka.
"Kami ingin membuat monumen untuk putra tunggal kami yang menimba ilmu di sini karena dia meninggal sebelum menikmati wisuda," kata si ibu.
"Wah, kalau semua mahasiswa meninggal dibuat monument di sini, tentu tidak elok," sergah petinggi.
"Maksud kami, kami akan membuat gedung, bukan sekadar tugu monument," jawab sang ayah menimpali kata petinggi itu.
"Wah, satu gedung biayanya akan sangat mahal, Pak, Bu. Maka, kami kasihan kepada Anda jika harus mengeluarkan dana sejumlah blab bla bla," sambut sang petinggi.