Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Penulis novel: Damar Derana, Tresna Kulasentana, Centini, Gelang Giok, Si Bocil Tengil, Anyelir, Cerita Cinta Cendana, Rahim buat Suamimu, dll. Buku solo 29 judul, antologi berbagai genre 171 judul.

Masih terus-menerus belajar: menulis, menulis, dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Damar Derana (Part 16)

21 Mei 2024   17:02 Diperbarui: 21 Mei 2024   17:10 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

DAMAR DERANA (part 16)

"Oh, .... Agar segera tertangani, baiknya Bapak ke rumah sakit terdekat dengan taksi online saja! Nanti sesudah healing ini selesai, kami akan menjemput di rumah sakit. Tinggalkan kunci mobil, duduklah di sini dulu. Kupesan taksi online!" kata Pambudi sambil menawarkan kursi di dekatnya, "Masih kuat, 'kan Pak?"


Pak Rahman sang sopir mengangguk. Pambudi sibuk mencarikan taksi online di gawai. Sepuluh menit kemudian, taksi datang dan Pambudi mempersilakan Pak Rahman ke rumah sakit terdekat. Diberilah sejumlah uang agar Pak Rahman tidak khawatir.


Kepada sopir taksi dipesan agar berkenan membantu hingga Pak Rahman sampai di tempat dengan selamat. Setelah sampai di tujuan, Pak Rahman pun diminta memberi kabar rumah sakit yang dituju agar bisa segera dikunjungi. Dengan demikian berharap semua akan aman dan baik-baik saja.


Pukul 22.00 lebih sedikit, Pambudi dan Nadya menuju rumah sakit untuk menjemput Pak Rahman. Namun, ternyata Pak Rahman harus rawat inap karena diare berat.


Akhirnya Pambudi harus menyopiri sendiri kendaraan bersama Nadya. Hati Pambudi sebenarnya sangat senang berkesempatan berduaan dengan Nadya seperti ini. Namun, dia tidak tahu bagaimana perasaan Nadya terhadapnya.

Berita itu Sangat Menyakitkan

Sebelum sampai di rumah, dibukalah gawainya. Nadya terhenyak. Banyak sekali pemberitahuan panggilan di gawai itu baik dari Prasojo maupun dari Vivi.


Salah satu pesan Prasojo yang sempat dibaca berbunyi, "Ma, Ibuk senang sekali ketika kukabarkan bahwa cucunya sebentar lagi lahir dan aku benar-benar akan menjadi ayah. Besok Ibuk akan mengunjungi kita!"  


Nadya semakin lemas. Pasti setelah ini posisinya benar-benar tergeser. Pasti sang mertua sangat senang dan meminta si suami memberikan cucu yang lain. Maka, makin dikuatkan hatinya untuk tidak merespons apa pun yang diceritakan dan akan dilakukan suami terhadap keluarga maupun khususnya terhadap Vivi.


Nadya mendengus dan mendesah cukup keras sehingga Pambudi menanyakan halnya.


"Ada masalah apa lagi?" suara lembut memecah kesunyuian, "Ceritakanlah agar lega hatimu!" lanjutnya.


"Suamiku telah menceritakan kepada keluarganya. Artinya, aku harus siap mundur. Kupikir sejak malam ini aku harus mengakhiri pernikahan kami. Dengan demikian, kebahagiaan mereka tidak terganjal oleh kehadiran dan keberadaanku!" sahut Nadya.


"Kamu yakin dengan keputusanmu?" selidik Pambudi sambil mengemudi.


"Jika tetap bertahan, aku sendiri akan kesakitan!" ujar Nadya.


"Hmm, ... aku siap menemanimu menghadapi masalah ini, Nok!" katanya.


"Ohh, ... maafkan aku, Mas, kalau telah melibatkanmu dalam masalah pribadiku ini!"


"Tidak, Nok. Semua ini sudah diatur sedemikian rupa oleh Tuhan. Jadi, jangan ada protes lagi. Biarlah kita menjalani dengan mengalir saja. Bagaimana?" kata Pambudi.


"Mas, ini sudah tengah malam. Bagaimana jika ...," kata Nadya yang langsung dipotong oleh Pambudi, "Iya, Nok, aku tahu. Apakah kamu menawarkan aku untuk menginap di rumahmu?" sentil Pambudi di tangan kanannya sambil tersenyum.


Muka Nadya merah padam. Untunglah gawai yang sudah disetelnya berdering, berbunyi nyaring. Panggilan dari suaminya. Nadya bingung antara diterima atau tidak.


"Jawab saja, Nok. Aku akan diam supaya tidak dicurigai macam-macam!" kata Pambudi santai.


"Enggak, Mas. Aku ini malah berpikir lain. Jika Mas berada di rumahku semalam saja, bagaimana dengan keluargamu? Apakah mereka tidak mencarimu?" kata Nadya sambil mengabaikan dering gawai yang berulang muncul.


"Ohh, ... aha ha ha ... aku tinggal sendiri di apartemen, kok! Siapa yang menanyakan apakah aku pulang atau tidak?" jawab Pambudi.


"Oh, ... kukira masih di rumah ayah bunda!" Nadya tersenyum. "Kalau kita tidur di rumahku yang lama, takutnya suamiku datang. Kalau kita tidur di apartemen, pasti banyak yang heran mengapa Mas membawa perempuan. Iya, 'kan?"


"Memang ada rumah lain, toh?" tanya Pambudi.


"Ada, Mas. Aku barusan membeli rumah mungil, tetapi rumah itu belum lengkap perabotannya!" sahut Nadya.


"Ada ranjangkah? Atau tikar gitu?" cecar Pambudi.


"Ada sih, hanya perlengkapan dapur yang belum lengkap. Jadi, kita belum bisa memasak di sana!"


"Oh, gampang. Kita bawa makanan dan nanti istirahat di rumah barumu saja, ya, Nok! Aku juga sudah lumayan lelah, nih! Campur mengantuk juga!"


"Baiklah, Mas. Kita belok kiri ya, lewat Karangploso!"


"Ok, good!"

Di Rumah Baru

Akhirnya, mereka sampai di rumah baru. Nadya belum pernah membawa siapa pun ke rumah itu sehingga security belum mengenali pasangannya dengan baik. Untunglah, Nadya sudah memiliki kartu anggota sehingga dengan mudah bisa memasuki cluster rumahnya dengan leluasa.


Ketika Pambudi memasukkan kendaraannya di garasi, dia merasa salut. Nadya sudah mempersiapkan masa depan dengan cerdas sehingga ketika rumah tangganya ambruk, dia masih bisa menghidupi diri sendiri. Sementara, Nadya mempersiapkan makan malam yang telah dibeli di jalan tadi dan mempersilakan Pambudi menyantap bersama. Sementara itu, jauh di dalam hati, Pambudi ingin mempersunting Nadya seperti keinginannya sebelas tahun silam.


Setelah selesai makan malam, "Ini kamarnya dua 'kan, Nok? Aku kau izinkan istirahat di kamar sebelah mana?" tanyanya dengan raut muka lucu.


Nadya tertawa, jawabnya, "Ranjang besarnya hanya ada satu di kamar belakang, sementara kamar depan masih kosong ee ... Mas!"


"Lah, ... bagaimana kita beristirahat malam  ini? Boleh kita sekamar, ya?"


"Iya, Mas. Kita terpaksa akan tidur seranjang malam  ini. Dengan catatan ...,"


"Ohh, ... ha ha ha ... aku masih perjaka, Nok! Aku belum bisa apa-apa, percaya sajalah!" gurau Pambudi.


Raut muka Nadya langsung merona. Jika berkaca pastilah akan semerah buah naga! Malu dan ... ah, nano-nano juga rasanya! Ia merasa masih istri sah Prasojo, tetapi malam ini harus tidur sekasur dengan pria beda. Haduuuhhh .... jantungnya bagai hendak berlompatan mengingat hal itu.


"Kamu tenang dan santai saja. Aku janji tidak akan melakukan hal-hal tercela!" Pambudi mengacungkan dua jari membentuk V.


"Emmm ...."


"Lagian ... kita bukan anak remaja kemarin sore, kan Nok? Percayalah! Kita ini sudah dewasa dan pastinya akan bisa mempertanggungjawabkan perilaku di hadapan Tuhan dan sesama!"

***

bersambung 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun