Ketika Pambudi memasukkan kendaraannya di garasi, dia merasa salut. Nadya sudah mempersiapkan masa depan dengan cerdas sehingga ketika rumah tangganya ambruk, dia masih bisa menghidupi diri sendiri. Sementara, Nadya mempersiapkan makan malam yang telah dibeli di jalan tadi dan mempersilakan Pambudi menyantap bersama. Sementara itu, jauh di dalam hati, Pambudi ingin mempersunting Nadya seperti keinginannya sebelas tahun silam.
Setelah selesai makan malam, "Ini kamarnya dua 'kan, Nok? Aku kau izinkan istirahat di kamar sebelah mana?" tanyanya dengan raut muka lucu.
Nadya tertawa, jawabnya, "Ranjang besarnya hanya ada satu di kamar belakang, sementara kamar depan masih kosong ee ... Mas!"
"Lah, ... bagaimana kita beristirahat malam  ini? Boleh kita sekamar, ya?"
"Iya, Mas. Kita terpaksa akan tidur seranjang malam  ini. Dengan catatan ...,"
"Ohh, ... ha ha ha ... aku masih perjaka, Nok! Aku belum bisa apa-apa, percaya sajalah!" gurau Pambudi.
Raut muka Nadya langsung merona. Jika berkaca pastilah akan semerah buah naga! Malu dan ... ah, nano-nano juga rasanya! Ia merasa masih istri sah Prasojo, tetapi malam ini harus tidur sekasur dengan pria beda. Haduuuhhh .... jantungnya bagai hendak berlompatan mengingat hal itu.
"Kamu tenang dan santai saja. Aku janji tidak akan melakukan hal-hal tercela!" Pambudi mengacungkan dua jari membentuk V.
"Emmm ...."
"Lagian ... kita bukan anak remaja kemarin sore, kan Nok? Percayalah! Kita ini sudah dewasa dan pastinya akan bisa mempertanggungjawabkan perilaku di hadapan Tuhan dan sesama!"
***