"Ada masalah apa lagi?" suara lembut memecah kesunyuian, "Ceritakanlah agar lega hatimu!" lanjutnya.
"Suamiku telah menceritakan kepada keluarganya. Artinya, aku harus siap mundur. Kupikir sejak malam ini aku harus mengakhiri pernikahan kami. Dengan demikian, kebahagiaan mereka tidak terganjal oleh kehadiran dan keberadaanku!" sahut Nadya.
"Kamu yakin dengan keputusanmu?" selidik Pambudi sambil mengemudi.
"Jika tetap bertahan, aku sendiri akan kesakitan!" ujar Nadya.
"Hmm, ... aku siap menemanimu menghadapi masalah ini, Nok!" katanya.
"Ohh, ... maafkan aku, Mas, kalau telah melibatkanmu dalam masalah pribadiku ini!"
"Tidak, Nok. Semua ini sudah diatur sedemikian rupa oleh Tuhan. Jadi, jangan ada protes lagi. Biarlah kita menjalani dengan mengalir saja. Bagaimana?" kata Pambudi.
"Mas, ini sudah tengah malam. Bagaimana jika ...," kata Nadya yang langsung dipotong oleh Pambudi, "Iya, Nok, aku tahu. Apakah kamu menawarkan aku untuk menginap di rumahmu?" sentil Pambudi di tangan kanannya sambil tersenyum.
Muka Nadya merah padam. Untunglah gawai yang sudah disetelnya berdering, berbunyi nyaring. Panggilan dari suaminya. Nadya bingung antara diterima atau tidak.
"Jawab saja, Nok. Aku akan diam supaya tidak dicurigai macam-macam!" kata Pambudi santai.
"Enggak, Mas. Aku ini malah berpikir lain. Jika Mas berada di rumahku semalam saja, bagaimana dengan keluargamu? Apakah mereka tidak mencarimu?" kata Nadya sambil mengabaikan dering gawai yang berulang muncul.