Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Menulis sebagai refreshing dan healing agar terhindar dari lupa

Menulis dengan bahagia apa yang mampu ditulis saja

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Damar Derana (Part 15)

20 Mei 2024   15:56 Diperbarui: 21 Mei 2024   04:19 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Part 15

Tekad bulat Nadya bukan sekadar angan-angan, melainkan benar-benar direalisasikan. Diwujudnyatakan segala sesuatunya dengan sengaja, penuh perhitungan, teliti, dan hati-hati. Tanpa bicara dengan siapa pun. Perlahan, tetapi pasti. Ia berjalan mendongak sambil menyambut masa depan. Tak peduli walau harus sendiri. Maka, ia sengaja menutup mata terhadap kondisi Vivi yang sedang dan akan lahiran.

Lembaran Baru

Tepat saat Nadya mengusap air mata, Pambudi Setyanto, sang Direktur Utama rekanan kerja yang baru, dengan berwibawa memasuki ruangan. Pambudi sangat kaget karena yang di hadapannya adalah sosok yang sangat dicintai sebelas tahun lalu. Ya, sebelum menikah dengan Prasojo, Pambudi telah jatuh cinta kepadanya. Namun, Pambudi kalah cepat.


Pambudi adalah kakak kelas Nadya sewaktu di SMA Negeri 10, SMA favorit di kotanya saat itu. Setelah lulus SMA, Pambudi melanjutkan studi ke luar negeri. Dia baru pulang setelah mengantongi ijazah doktor. Namun, Pambudi tidak sempat memikirkan menikah. Baru setahun lalu ia pulang ke tanah air. Sepulang ke tanah air, orang tua meminta menggantikan posisinya di perusahaan milik keluarga.


Keduanya salah tingkah. Nadya sangat malu diketahui oleh orang lain bahwa dia sedang berada dalam situasi kurang baik, bahkan sangat bersedih. Hal itu tampak sangat menyedihkan!


Pambudi pun sangat iba melihat kondisi Nadya yang tampak bermuram durja. Maka, pembicaraan kali itu tidak dapat dilangsungkan dengan baik. Nadya berjanji akan melanjutkan pembicaraan keesokan harinya. Meskipun  seharusnya libur, kalender menandakan tanggal merah, ia siap menanganinya.


Ketika Pambudi berusaha menanyakan perihal yang membuatnya menangis, Nadya tidak bersedia mengungkap. Pambudi tahu diri dan bersabar menunggu hingga saat yang tepat untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi Nadya.


Pertemuan yang tidak diduga ini membuat Pambudi semakin memikirkan Nadya. Kenangan terindah bersama Nadya yang tidak bisa dikubur baik-baik, kembali menyeruak mengganggu pikiran.


Pambudi sempat menunggui Nadya sesenggukan. Manakala Nadya sudah agak tenang, Pambudi pun mohon diri.


"Apakah kamu yakin bisa pulang dengan mengendarai kendaraan sendiri, Nok?" tanya Pambudi khawatir.


Mendengar panggilan itu, hati Nadya kian teriris. Air mata kembali mengucur deras. Pambudilah satu-satunya yang memberikan panggilan istimewa itu. Nadya tahu Pambudi pernah menyukai bahkan mencintainya. Dari sikap dan perilaku bersamanya, tampak sekali Pambudi menyukainya, tetapi Pambudi tidak pernah mengutarakan sehingga Nadya memutuskan menerima lamaran Prasojo saat itu.


"Jika tidak sanggup, baiknya pulang bersamaku. Kendaraanmu biar dibawa sopirku, bagaimana?" tanya Pambudi.


Dengan mata bersimbah air, akhirnya Nadya mengangguk. Pikirnya ia harus menenangkan hati dengan bersantai sejenak. Sudah lama ia tidak melakukan refreshing. Kenapa tidak pikirnya.


Nadya tidak ingin pulang, tetapi ingin bersantai di suatu tempat yang cukup tenang. Dia menyetujui tawaran Pambudi. Ketika menjelang sampai di rumah, Nadya mengemukakan keinginan untuk bersantai hingga malam nanti.


Pambudi pun sepakat. Apalagi keesokan harinya kalender merah. Sesampai di rumahnya, Nadya mempersilakan Pambudi masuk rumah sementara sopir pribadi Pambudi diminta memasukkan mobilnya ke garasi. Setelah itu, Nadya memohon agar mereka berdua mengantarnya ke suatu tempat untuk menghilangkan dukanya hingga malam nanti.


Tempat yang Tenang

Pambudi meminta sopirnya mengantarkan ke suatu tempat  indah yang belum diketahuinya. Pambudi juga kangen menikmati suasana malam hari di tanah air setelah sekian lama berada di luar negeri.


Nadya meminta Pambudi untuk berjanji tidak melakukan sesuatu yang merugikan mereka karena itu Nadya meminta sopirnya ikut mengawal. Nadya takut jika Pambudi yang sudah sekian tahun di luar negeri melakukan hal yang tidak diinginkan.


Mereka bertiga berada di suatu tempat nyaman, dengan alunan musik klasik yang mendayu-dayu. Daerah pegunungan dengan lampu berkelap-kelip di berbagai tempat itu menyajikan pemandangan malam yang sangat alami. Bakso bakar, jagung bakar, dan roti bakar yang mereka pesan cukup menghangatkan suasana.


Di situlah Pambudi menceritakan bagaimana kehidupannya di luar negeri. Dia hanya berfokus pada kuliah dan ingin segera kembali ke tanah air. Tidak satu pun gadis bule yang singgah di hati karena dia sudah mengalami patah hati akut.
Kehidupan dijalaninya dengan biasa saja tanpa pernak-pernik cinta seperti yang dibayangkan Nadya. Hingga waktunya tiba, dia harus pulang ke tanah air. Sekalipun keluarga selalu menanyakan padanya, "Kapan kawin?" hanya dijawab dengan seulas senyum simpul.


"Tuhan belum mempertemukan tulang rusukku!" jawabnya singkat saja kepada siapa pun yang bertanya di usia yang sudah 34 tahun ini.


Giliran Nadya menceritakan kehidupannya. Pambudi terbelalak ketika diberitahukan bahwa malam ini kemenakan sekaligus madunya sedang menunggu kelahiran putra pertama suaminya. Vivi sedang berada di rumah sakit bersalin ditunggui suaminya dan dia tidak ingin melibatkan diri dalam situasi bahagia si suami itu.


Nadya ingin menjauh agar mereka berdua merasakan sensasi kelahiran buah cinta mereka. Itu saja. Karena itu, Nadya meminta menemaninya untuk tidak tinggal di rumah malam ini. Nadya berterima kasih untuk kesempatan berbagi duka sehingga malam  ini dia boleh sedikit plong karena rahasia hidupnya sudah terbongkar. Nadya memohon maaf telah melibatkan Pambudi untuk membawanya ke tempat ini.


Pambudi sangat heran, betapa dengan tabah Nadya menghadapi badai kehidupannya setengah tahun terakhir ini. Pambudi membayangkan betapa teririsnya hati Nadya saat melihat suami mencumbu dan memesrai kemenakan di hadapan matanya. Hatinya ikut teriris membayangkan.  


Ditatapnya netra Nadya sambil sesekali mengambil napas dalam.


"Tahukah kau, mengapa aku tidak menikah sampai setua ini?" tanyanya kepada Nadya yang terdiam sesaat setelah menyelesaikan kisah hidupnya.


Nadya menggeleng sambil mengedarkan tatapan kosong ke segala arah mencari-cari sopir yang tadi mengantar.


"Aku mencintai seseorang, bahkan sampai sekarang pun aku masih mencintainya. Aku tidak bisa menggeser posisinya dari hatiku!"  ujar Pambudi menjawab pertanyaannya sendiri yang tidak dijawab oleh Nadya.


Nadya sedikit membelalak. "Mengapa begitu dalam kau mencintainya, Mas?"


"Entahlah. Aku juga tidak tahu mengapa, tetapi aku selalu percaya bahwa suatu saat aku dapat meraihnya! Itulah sebabnya aku tidak ingin menggantikan posisinya di hatiku ini!"


Tiba-tiba si sopir mendekati Pambudi sambil meringis memegangi perutnya, "Pak, saya sakit perut!"

bersambung 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun