Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Menulis sebagai refreshing dan healing agar terhindar dari lupa

Menulis dengan bahagia apa yang mampu ditulis saja

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Damar Derana (Part 13)

20 Mei 2024   02:18 Diperbarui: 20 Mei 2024   02:46 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Part 13

Menata Masa Depan 

Siang itu Prasojo datang lebih cepat dari biasa. Ketika dilihatnya Nadya  sedang berbincang dengan Vivi di ruang tamu, dia datang dengan tersenyum lebar sambil menenteng buah tangan.


"Hei, Ma. Sudah dapat browsing rumahnya?" tanyanya kepada si istri sambil melepaskan dasi.


"Sudah, nanti kita bahas di kamar. Sekarang samperin baby yang sudah kangen papanya tuh!" jawab Nadya ringan sambil tersenyum dan menunjuk Vivi yang sedang tersenyum manja.


Prasojo pun memahami kode dari sang istri, maka langsung dipeluklah Vivi dengan sangat mesra sementara Nadya membawa berbagai buah yang dibawa Prasojo ke belakang. Nadya paham, mereka berdua sedang berada di puncak percintaan, maka diberilah suami isyarat agar memesrai kemenakan itu dengan segera. Prasojo pun mengerti arti sinyal itu.


Dipeluk dan dituntun   kekasih hati  menuju ke kamar tidur. Prasojo bersegera menuju kamar mandi dalam untuk sejenak bebersih diri. Atas perlakuan yang dipajankan kekasih itu, Vivi tertawa-tawa kecil. Si buah hati di rahim melonjak girang. Seolah menunjukkan betapa berbunga hati menyambut sang ayah yang memanjakan dan memesrai bundanya.


"Iihh, ... Papa. Baru datang dari kantor pun!" pekiknya sambil menggelinjang karena perut gendut digelitik.


"Mmhhh ... Papa kangen banget nih ... tidak bertemu seharian dengan anak Papa, nih! Sudah pintar menendang, kan?" dibimbinglah Vivi ke tepi pembaringan. "Kayaknya ... baby kita cowok, nih, Sayang?" 

"Hehe ... terserah sedikasihnya Allah saja, kan Pa?"

"Iya, sih ... hehe. Kita pun terkaget-kaget secepat ini hendak jadi orang tua, kan?"

Vivi mengangguk-angguk, "Bener banget! Vivi nggak tahu, tiba-tiba sudah gede aja, baby nih!" sambil meraba dan merasai lonjakan lembut si buah hati.

"Iya, perkembangannya luar biasa. Mamanya pun enggak ngalami morning sick, juga. Jadi ... nggak ada yang nyangka. Pinter banget baby kita, ya Sayang. Saat mamanya ujian dan ulangan enggak rewel sama sekali!"

"Betul banget! Vivi benar-benar nggak tahu kalau saja Mama nggak masuk kamar gegara nggak ada baju muat! Hehe ...!"


 "Sini ... Papa kangen, Cantik ... !" bisik Prasojo sambil melepas segala sesuatu yang mengikat. 

Dimulailah aktivitas pasutri seperti biasa dalam rangka membangun  kebersamaan. Perut Vivi sudah kian membesar. Sekarang dia sudah harus mengenakan daster setiap hari agar perut leluasa tidak terlalu terasa terikat.


Hari-hari dilalui Vivi dengan sangat bahagia, apalagi mama pun sudah memberinya lampu hijau. Dia boleh melanjutkan hubungan dengan Papa kelak jika baby-nya sudah lahir. Bahkan di dalam hati, Vivi ingin memberi beberapa orang anak. Bukan hanya satu.
Vivi sudah tidak berniat melanjutkan sekolahnya lagi. Dia ingin hidup berbahagia dengan Papa yang pasti akan segera menikahi secara sah. Bukankah mama sudah memberikan izin dan kesempatan? Dia berjanji tidak akan menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Bukankah mama rela meninggalkan Papa jika memang Papa memilih untuk tetap bersamanya?


Setelah melakukan aktivitas pasutri rutin, Vivi kembali ceria. Padahal, tadi sesaat sebelum Prasojo pulang, ia merasakan letih lesu tanpa semangat. Akan tetapi, kini setelah dilihat dan dipeluk Prasojo, aneh sekali, badannya menjadi kembali bugar.
Atau mungkin setelah dilakukan relasi sejoli itu menjadikannya bugar dan ceria kembali? 

Vivi tak habis pikir. Diceritakanlah  hal pelik itu kepada Prasojo dengan jujur. Tentulah Prasojo tersenyum lebar mendengar penuturannya. Ia tahu, sang kekasih sangat mencintainya. Maklum, sedang hangat-hangatnya sang dewi menikmati relasi.
Setelah selesai ritual rutin, seperti biasa Papa minta izin untuk bebersih diri bersama-sama. Saat dalam kebersamaan itulah, Prasojo berjanji setia.


"Sayang, aku tidak bisa meninggalkanmu sampai kapan pun. Aku akan tetap mempertahankanmu sebagai istriku! Jangan pernah berpikiran bahwa kita akan berpisah!"


"Memang ... kita harus serumah, ya Pa?"


"Kenapa? Bukankah lebih baik kalau kita selalu bersama begini? Ada mamamu yang siap membantu, kan?"


"Emmm ... Vivi lebih suka nggak serumah, sih?"


"Kenapa begitu?"


"Maunya menjaga perasaan Mama juga, sih. Kan ... wajar kalau di antara kami berdua ada saling cemburu? Betul nggak, sih?"


"Oh, gitu, ya? Jadi ... Vivi cemburu, ya kalau Papa dekat dengan Mama Nadya?" 

Si jelita pun mengangguk sambil tersenyum tipis.

"Oke, deh. Nanti kita pikirkan kembali."


"Tapi ... sebaiknya jangan bilang Mama, ya Pa?"  


"Baiklah ... kalau Vivi mau mandiri, nanti kita bisa cari ART yang bisa menemanimu saat Papa ke kantor," tutur Prasojo lembut.


"Hmmm ...  ternyata, anak ini baik juga. Ia masih memikirkan perasaan Nadya," pikirnya dalam hati.


Prasojo mulai melaksanakan pelatihan seperti arahan Nadya dengan sangat lembut. Aktivitas ini ternyata sangat disukai si calon ibu. Membuatnya  terperangah dan berulang meminta pasangan untuk melakukannya kembali.  


"Hmmm ...," ajuk Prasojo sambil kembali menuntun menuju peristirahatan.


Namun, Prasojo tahu bahwa jika itu dilakukan akan melelahkan sang kekasih itu. Sementara kandungan sudah makin besar, ia harus membatasi diri agar sang Vivi tidak kelelahan. Prasojo pun mengalihkan perhatian dengan melakukan strategi lain. Yang penting ia jaga agar pasangan tetap mendapatkan kebahagiaan. Bercanda dan merenda masa depan dalam rencana hingga si cantik ikut berpikir bagaimana melaksanakan tugas di masa depan sehubungan dengan status baru: calon ibu!


Mereka bercanda dengan mesra hingga tawa terdengar oleh Nadya. Meskipun bagai diiris sembilu, Nadya bisa memahaminya. Ia tetap mensyukuri karena hal itu justru terjadi di rumahnya sendiri dan diketahui dengan pasti. Tidak dapat dibayangkan seandainya Prasojo berselingkuh dengan orang lain. Maka, sebisa-bisa Nadya tetap tenang menghadapi badai di dalam rumah tangga. Ia tetap menata hati, jangan sampai rahasia hatinya terungkap baik lewat tatap netra maupun lisan kata. Biarlah ia dan sang penciptanya yang mengetahui seluk beluk isi hatinya.

***  

"Haiii ... masakan sudah siap nih. Kalian tidak laparkah? Viii ... ayooo makan dulu. Bumil! Kasihan si baby jika kamu lapar!"  teriak Nadya memanggil kedua kekasih yang sedang berbahagia itu.


Saat di kamar, Nadya mengemukakan kepada Prasojo bahwa ia akan mencari kontrakan rumah saja dahulu sebagai langkah cepat sambil mencari-cari rumah baru. Yang penting segera meninggalkan rumah tersebut agar kehamilan Vivi tidak diketahui siapa pun. Prasojo menyetujui. Semua berada di tangan Nadya katanya.


Seminggu kemudian mereka berhasil menemukan sebuah rumah kontrakan yang sangat cocok agak di luar kota dan hari itu pun mereka segera pindah ke rumah baru. Mereka memang berkejaran dengan waktu, sebelum perut buncit Vivi diketahui siapa pun.
Dikontraklah sebuah rumah di perumahan strategis jauh dari keriuhan kota. Suasananya sangat nyaman dan belum banyak tetangga yang tinggal di sana. Namun, untuk masalah keamanan tidak dapat diragukan lagi. Ada security yang menjaga di gerbang utama 24 jam nonstop.


Nadya membantu terselenggaranya pernikahan kedua bagi sang suami dengan Vivi meskipun hanya pernikahan siri. Pernikahan itu cukup disaksikan oleh keluarga terdekat. Orang tua Prasojo, orang tua Nadya, dan beberapa orang saksi saja. Suatu saat nanti, pernikahan mereka akan diresmikan dan didaftarkan di kantor KUA.  Bahkan, jika seandainya diinginkan, bisa saja pernikahan mereka dipestakan.


Awalnya orang tua Prasojo sangat terkejut saat diberitahukan bahwa sebentar lagi Prasojo akan menjadi seorang ayah, tetapi bukan dari rahim Nadya. Setelah melihat langsung kondisi Vivi dengan perut membuncit, orang tuanya menyerah saja. Toh, yang diinginkan adalah cucu, bukan siapa menantunya.


Demikian juga orang tua Nadya. Melihat perut buncit Vivi, ibu Nadya menangis sesenggukan. Sungguh hal yang di luar dugaan, bahwa Nadya mengikhlaskan suaminya menikahi keponakannya itu. Bahkan, Nadyalah yang mengurus segala sesuatu.


Ibu Nadya tahu bagaimana isi hati Nadya, sakit pastinya. Karena itu sang ibu pun memberikan support agar Nadya tabah dan ikhlas. Nadya hanya mengangguk dengan netra berkaca-kaca.


Karena itu, sang ibu hanya berpesan, "Jika  tidak kuat, kamu bisa melepaskan suamimu untuk Vivi! Percayalah, Gusti ora sare!" petuah yang sangat menguatkan hati Nadya. Nadya pun mengangguk sambil memeluk ibundanya dengan mesra.

Bersambung 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun