Vivi mengangguk-angguk, "Bener banget! Vivi nggak tahu, tiba-tiba sudah gede aja, baby nih!" sambil meraba dan merasai lonjakan lembut si buah hati.
"Iya, perkembangannya luar biasa. Mamanya pun enggak ngalami morning sick, juga. Jadi ... nggak ada yang nyangka. Pinter banget baby kita, ya Sayang. Saat mamanya ujian dan ulangan enggak rewel sama sekali!"
"Betul banget! Vivi benar-benar nggak tahu kalau saja Mama nggak masuk kamar gegara nggak ada baju muat! Hehe ...!"
 "Sini ... Papa kangen, Cantik ... !" bisik Prasojo sambil melepas segala sesuatu yang mengikat.Â
Dimulailah aktivitas pasutri seperti biasa dalam rangka membangun  kebersamaan. Perut Vivi sudah kian membesar. Sekarang dia sudah harus mengenakan daster setiap hari agar perut leluasa tidak terlalu terasa terikat.
Hari-hari dilalui Vivi dengan sangat bahagia, apalagi mama pun sudah memberinya lampu hijau. Dia boleh melanjutkan hubungan dengan Papa kelak jika baby-nya sudah lahir. Bahkan di dalam hati, Vivi ingin memberi beberapa orang anak. Bukan hanya satu.
Vivi sudah tidak berniat melanjutkan sekolahnya lagi. Dia ingin hidup berbahagia dengan Papa yang pasti akan segera menikahi secara sah. Bukankah mama sudah memberikan izin dan kesempatan? Dia berjanji tidak akan menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Bukankah mama rela meninggalkan Papa jika memang Papa memilih untuk tetap bersamanya?
Setelah melakukan aktivitas pasutri rutin, Vivi kembali ceria. Padahal, tadi sesaat sebelum Prasojo pulang, ia merasakan letih lesu tanpa semangat. Akan tetapi, kini setelah dilihat dan dipeluk Prasojo, aneh sekali, badannya menjadi kembali bugar.
Atau mungkin setelah dilakukan relasi sejoli itu menjadikannya bugar dan ceria kembali?Â
Vivi tak habis pikir. Diceritakanlah  hal pelik itu kepada Prasojo dengan jujur. Tentulah Prasojo tersenyum lebar mendengar penuturannya. Ia tahu, sang kekasih sangat mencintainya. Maklum, sedang hangat-hangatnya sang dewi menikmati relasi.
Setelah selesai ritual rutin, seperti biasa Papa minta izin untuk bebersih diri bersama-sama. Saat dalam kebersamaan itulah, Prasojo berjanji setia.
"Sayang, aku tidak bisa meninggalkanmu sampai kapan pun. Aku akan tetap mempertahankanmu sebagai istriku! Jangan pernah berpikiran bahwa kita akan berpisah!"
"Memang ... kita harus serumah, ya Pa?"
"Kenapa? Bukankah lebih baik kalau kita selalu bersama begini? Ada mamamu yang siap membantu, kan?"