Api Cemburu
"Yuk, Radit. Kita masuk dululah sebentar! Duduk di teras sebentar pasti asyik!" seret Vivi kepada Raditya yang mengantarnya pulang sore itu.
"Eh, aku gerah, Vi. Pingin mandi dulu rasanya! Aku langsung pulang aja, ya!" tolaknya halus.
Tetapi, bukan Vivi kalau tidak bisa meluluhlantakkan hati seorang Raditya. Sambil bermanja, ia menggelendot di bahu Raditya si jejaka tampan yang sore itu mengantarnya pulang setelah melaksanakan tugas kelompok.
"Ayolah, sebentaaar saja. Ada yang mau aku omongin sedikit!" rajuk Vivi.
"Okey, baiklah! Nggak lama-lama, ya!"
"Ya! Aku janji!" kata Vivi sambil bertingkah centil membuat gemas sepasang netra yang melihatnya dari ruang lain.
Kedua remaja itu mengobrol di teras dengan tertawa-tawa. Entah apa yang mereka berdua bahas tidak terdengar jelas dari ruang tamu, tempat sang paman sedang membaca koran.
"Tak boleh dibiarkan begitu! Jadi cewek kok terlalu centil. Bukankah teman lelakinya bisa-bisa terpanggang api nanti?" pikir sang paman sambil mengepalkan tangan.
Ia tak lagi fokus pada koran yang sedang dibaca. Diikutilah segala gerak dan tingkah laku kemenakan dengan hati panas dan geram.
"Kalau dia mulai pacaran, lalu kian dekat ... jangan-jangan ....!" galau memenuhi ruang kepala yang kian memanas.
"Tapi ... sebenarnya ... baik juga sih kalau ia pacaran. Artinya ... hubungan kami selama ini akan tersamarkan oleh kehadiran sahabatnya itu. Tapi ... ah, tidak! Aku tidak mau begitu! Aku tidak rela kalau dia .... arrgggh!"
Prasojo pun beranjak dan mondar-mandir di ruang tamu yang berada tepat berhadapan dengan teras itu.
Hampir setengah jam mereka kedua sejoli mengobrol hingga sang paman pun tak tahan lagi. Dengan sengaja sang paman melemparkan asbak aluminium sehingga bersuara nyaring.
Kedua remaja itu pun kaget dan sang sahabat langsung pamit undur diri. Diantar kemenakan hingga pintu gerbang sambil bersenandung riang. Sejenak kemudian memasuki rumah melintasi ruang tamu tempat sang paman masih berpura-pura membaca koran.
Namun, Vivi melihat hal aneh. Ternyata sang paman tidak benar-benar membaca koran karena ia melihat bahwa koran itu dipegangnya terbalik.
Spontan si gadis ayu pun tertawa ceria dan menghampiri kursi tempat sang paman duduk.
"Ehm!"
Sang paman bergeming.
"Ehhh ... Papa kenapa?"
"Tau ah!" jawab sang paman sewot.
"Loh, kok marah? Vivi salah apa?" selidiknya mendekat.
"Salah apa? Pikir sendirilah!"
Sang kemenakan diam sejurus. Lalu dengan cerdas ia segera menebak dan sedikit mengerti bahwa sang paman tidak menyukai kedekatannya dengan Radit.
"Apa ... Papa marah karena Vivi dekat dengan Radit?"
"Pakai nanya pula!" dengus sang paman sambil melengos.
Sekali lagi sang kemenakan sadar bahwa lelaki di hadapannya sedang dilanda api cemburu. Ia pun tersenyum dan secepat kilat memeluk ayah angkat, mencium gemas pipinya, sambil berbisik di telinga.
"My heart just for you!"
"Gombal!"
"Hahaha ... gombale mukiyooo ...!" canda sang kemenakan mengurai pelukan sambil melelet menggodanya.
Pada saat bersamaan muncul sang bibi dari arah ruang lain. Melihat keceriaan suami dan kemenakan, Nadya pun ikut-ikutan tertawa.
"Hey ... kalian ceria banget! Memang sedang gurau apaan?" tanyanya.
"Ituuu ... Papa sedang tidak fokus, Ma! Lihat saja ... masak membaca koran, korannya terbalik! Ketahuan, kan? Hahaha ....!"
"Oohh ...!" pekik Prasojo baru menyadari keadaannya.
"Hahaha ... memang mengapa sampai begitu?" selidik Nadya heran.
"Nah, itulah ... Papa sudah mulai deh, Ma! Vivi mandi dulu, ya! Gerah banget!" seru Vivi beranjak meninggalkan kedua orang tua angkatnya.
bersambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H