"Yang kepala TK Pembina itu loh!"
"Nah, iya ... malah lebih parah itu! Pembelajaran buat kita!"
"Parah gimana?" kejarku.
"Itu kalau nggak ada persetujuan suami istri! Sang suami nggak tahu-menahu tuh! Si istri kan punya teman wanita. Si istri menilai, memperlakukan, dan menganggapnya sangat baik bahkan seperti saudara. Saking dianggap baik, sertifikat rumah pun dipinjamkan. Nah, tahu 'kan ending-nya kayak apa?"
"Emang gimana sih detailnya? Aku cuma ngerti sepenggal saja sih!"
"Jadi gini ... si istri itu kan punya teman akrab yang bahkan dianggapnya saudara. Ternyata, si teman ini meminjam sertifikat rumah untuk diagunkan di bank. Berarti digadaikan. Salahnya ... si istri nggak rundingan dengan suaminya. Main percaya saja. Nah, akibatnya ... setelah memperoleh uang pinjaman, teman wanitanya itu minta izin pulang kampung katanya. Alasannya menyelesaikan masalah. Namun, ditunggu sebulan dua bulan ... ternyata tidak kembali. Hilang tak tentu rimbanya. Baru kelabakan! Sertifikat yang digadaikan itu harus ditebus sendiri. Padahal, kedua suami istri sudah pensiun. Intinya tertipu mentah-mentahlah!" urai suamiku.
"Ohh, gitu toh ceritanya."
"Lalu, ... dampaknya, si suami yang baru mendengar kondisi ekonominya yang terpuruk pun tekanan darahnya mendadak sangat tinggi hingga menderita stroke. Karena stroke dan di rumah sendiri, suami terjatuh saat hendak ke kamar mandi dan tutup usia mendadak!"
"Oooh, ya Allah! Jadi, ... dampaknya luar biasa, ya?"
"Iya, makanya Mama jangan mikir utang itu lagi. Anggap saja uang hilang, beres. Uang bisa dicari, Ma. Yang penting sehat!"
Aku masih menerawang. Untunglah atap kami sudah plafon asbes. Kalau di desa paling aku menghitung para-para aha ha ha ha ....