"Iya. Apalagi, aku mendapatkan kiriman ayat dari temanku yang pendeta. Aku nggak tahu, kok pas banget. Rupanya Tuhan mengingatkan aku melalui pendeta itu," kataku lirih.
"Ha? Bener, Ma?" kejar suamiku.
"Iya, bunyinya begini: 'Jangan engkau termasuk orang yang membuat persetujuan dan yang menjadi penanggung utang.' Diambil dari Amsal 22: 26!"
"Ya, Allah ... jika demikian, sebenarnya sudah dipesankan agar kita tidak menjadi penanggung utang, ya.  Berarti, memang kita yang salah. Kita yang tidak menaati pesan itu. Ya, sudah. Kalau begitu, kita ikhlaskan saja, biarlah Tuhan Yesus yang bertanggung jawab. Jangan dipikirkan lagi. Tuhan  Yesus pasti akan menolong kita. Sudah, jangan pernah dipikirkan lagi!"
"Nah, aku jadi ingat. Â Sabtu kemarin di sekolah ayat khotbahnya juga mengenai utang. Namun, isinya tentang kasih sesama," lanjut suami.
"Dari siapa? Disampaikan siapa?" kejarku.
"Ya, dari ibadah pagi. Kita diingatkan melalui Amsal 19:17. Begini bunyinya, 'Siapa menaruh belas kasihan kepada orang yang lemah, memiutangi Tuhan yang akan membalas perbuatannya itu.' Sekarang aku tahu mengapa kita mendapatkan firman itu. Pas, bukan? Â Berarti tidak kebetulan kalau Tuhan Yesus menggunakan pendeta teman Mama, dan renungan pagi di sekolahku. Dua firman itu berpautan. Ini artinya, kita harus mengikhlaskan masalah utang piutang itu."
"Hmm ... iya, sih!" lirihku.
 "Ingat, kalau yang namanya ikhlas ... berarti tidak diingat-ingat dan dipikirkan lagi. Bebaskan pikiran kita. Anggaplah sudah lunas. Maafkanlah mereka, jangan diungkit-ungkit dan dibangkit-bangkit!" seloroh suami berapi-api.
Kalau sudah membicarakan firman, lagaknya seperti pendeta saja dia ha ha ha ....
"Gitu, ya ...," kataku masih dengan pikiran kosong.