Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - mengisi usia senja dan bercanda dengan kata

Menulis sesuka hati, senyampang ada waktu, dan sebisanya saja

Selanjutnya

Tutup

Diary

Ikhlaskan Saja

9 Mei 2024   17:21 Diperbarui: 9 Mei 2024   17:24 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Ikhlaskan Saja
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
 
 
"Ma, ada biaya tambahan untuk pelepasan siswa kelas XII, terakhir lusa," kata si sulng melapor.


"Iya, besok ya," hiburku agar dia tidak khawatir.


Padahal, sejujurnya aku belum ada dana segar untuk itu. Malamnya, ketika aku dan suami berada di kamar berdua, kami membicarakan bagaimana menyediakan dana segar untuk sulung.


"Mama bisa meminjam koperasi sekolah, nggak?" tanya suamiku, "Soalnya aku sudah nggak bisa karena masih ada pinjaman belum lunas, 'kan?" lanjutnya.


Aku diam menerawang plafon sambil memikirkan bagaimana cara mencari dana segar. Cicilan juga belum lunas. Apalagi cicilan itu sebenarnya bukan pinjamanku sendiri. Teringat rengek sepupu yang memohon-mohon pertolongan untuk meminjamkan dana di koperasi atas namaku. Meminjam namaku. Janjinya akan dicicil setiap bulan. Namun, kenyataannya ... gajikulah yang dipotong, sementara sepupu hanya sekali saja mencicil. Selebihnya menjadi tanggunganku. Jika ditanya, jawabnya sengak, sinis luar biasa. Sangat berbeda dengan saat merengek meminta tolong. Bahkan, ketika aku mengingatkannya untuk membantunya mencicil sebagai tanggung jawabnya, seolah aku seorang pengemis. Lupa bagaimana keluhnya mengiba saat hendak meminjam dulu.


Aku diabaikan, bahkan pernah juga aku dibentaknya, "Kalau punya uang ... ya pasti sudah aku lunasi, Mbak. Nggak usah diminta! Risih, tahu!" sewotnya.


Dengan demikian, aku kerja rodi sepuluh bulan hanya untuk mengembalikan utang sepupu. Hampir setahun aku tidak menikmati gaji karena dipotong utang tersebut. Sedih sekali. Apalagi ketiga putra kami masih memerlukan dana pendidikan.


"Kok tega, sih ...," gumamku.


"Hmm, masih teringat pinjaman itu, ya Ma?" celetuk suami.


"Iya, kalau sedang membutuhkan seperti ini, mau tidak mau jadi teringat juga," keluhku.


"Ya, sudahlah. Kita memang harus belajar bersabar. Ini juga pengalaman buat kita. Besok-besok kita tidak perlu lagi membantunya. Sudah cukup sekali ini saja!" hiburnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun