Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - mengisi usia senja dan bercanda dengan kata

Menulis sesuka hati, senyampang ada waktu, dan sebisanya saja

Selanjutnya

Tutup

Diary

Kerlap-kerlip Lampu Ibu Kota Kita

9 Mei 2024   00:54 Diperbarui: 9 Mei 2024   00:59 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Kerlap-Kerlip Lampu Ibu Kota Kita
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

"Ma, Pa, terima kasih atas semua yang Mama Papa berikan ke aku sampai aku bisa seperti ini. Terima kasih. Sekarang, Mama Papa nikmati hari ini sambil melihat pemandangan Jakarta dari ketinggian. Kami pamit mempersiapkan segala sesuatunya. Sampai besok, Mama Papa dijemput oleh Doni, ya!" kata sulung sambil mencium kedua punggung tangan kami. Kedua netranya pun berkaca-kaca. Embun bening itu mulai menitik perlahan-lahan.


"Kami berharap Mama Papa bisa istirahat supaya besok fresh saat acara!" kata calon mantu.


Tak urung air mata kami pun mengucur deras melihat sulung kami yang akan pemberkatan nikah esok hari.


"Ma, Pa ...  silakan nikmati pemandangan Jakarta dari ...  lantai berapa ini, Dik?" ujar sulung sambil menoleh dan bertanya kepada calon istrinya.


"Dua puluh tujuh, Mas!" jawabnya.


Aku tidak bisa berkata-kata. Air mata kami mengucur deras. Suamiku memeluk sulung dengan erat sambil terisak-isak.
Selama ini kami memang tidak memanjakan sulung. Justru itulah jiwa kepemimpinannya sangat menonjol pada saat kedua adiknya memerlukan teladannya.


Dengan sekuat tenaga kami berdua pun memberikan kesempatan kepada ketiga putra kami, yang semuanya lelaki itu, untuk maju dan meraih cita-cita mereka masing-masing. Bersyukur ketiganya dianugerahi kecerdasan luar biasa sehingga bisa menyelesaikan pendidikannya dengan sangat baik.


Akhirnya, hari ini kami berdua diberi kesempatan menginap di salah satu hotel berbintang yang berada di bawah naungan instansi kantornya. Kami sangat terharu. Seandainya sulung tidak bekerja di ibu kota, kami pasti tidak akan bisa menikmati pemandangan ibu kota seperti ini. Kerlap-kerlip lampu ibu kota yang biasa kami lihat pada tayangan televisi itu ternyata benar-benar bisa kami nikmati!


Hari ini sulung akan menikah dengan mempersunting gadis Sunda yang dikenalnya lewat kantornya. Pilihan hatinya bukan hanya jelita, melainkan juga memiliki hati dan perangai yang patut diacungi jempol.


Aku dan suamiku berurai air mata sepeninggal mereka. Di hotel berbintang lantai kedua puluh satu itu menjadi saksi bisu betapa kami berdua bertelut di hadapan Tuhan Yang Mahaagung, yang telah memberikan kesempatan kepada putra sulung kami untuk menikmati kebahagiaannya.


"Terima kasih, Tuhan!" sujud kami berdua di lantai kamar hotel itu. Sejujurnya, seumur-umur belum pernah aku menginjakkan kaki di hotel semewah itu. Sementara suamiku, yang pernah menjabat sebagai manajer salah satu hotel di kota kecil kami, sudah terbiasa dengan suasana hotel. Sangat jauh berbeda denganku yang dapat dikatakan orang udik ini. Karena itu, memperoleh kesempatan emas seperti ini sungguh sangat membuatku terharu.


Sepeninggal mereka kami berdua berdoa agar acara besok berjalan dengan lancar. Kami pun mencoba menikmati indahnya pemandangan ibu kota malam hari itu dengan sukacita.


Dua puluh tahunan silam, ketika melahirkan sulung aku masih berstatus mahasiswi salah satu perguruan tinggi. Bahkan, hingga kelahiran putra kedua kami yang hanya berjarak dua puluh bulan, aku baru bisa menyelesaikan kuliahku. Terbayangkan bukan bagaimana sibuknya mengurus dua balita sambil kuliah? Namun, kami tetap bersyukur dan bekerja keras untuk mempersiapkan masa depan mereka.


Saat itu, tentu saja perekonomian kami masih labil, bahkan sering kali kami utang susu ke toko kecil depan rumah kontrakan. Warung milik tetangga. Namun, Tuhan selalu baik kepada kami. Kepada anak-anak kami, Tuhan menghadiahkan susu dan makanan bayi dari salah satu rumah sakit secara gratis sehingga kebutuhan nutrisi putra kami tercukupi dan tercukupkan.


Saat sulung berusia sepuluh tahun, adik kedua delapan tahun, sementara bungsu masih empat tahun, kami mendapat kesempatan bertandang ke ibu kota. Salah satu saudara sepupu mengajak kami bersilaturahmi ke rumah saudara yang berada di ibu kota. Dengan L-300 kami menuju ke ibu kota. Penumpang dewasa lima orang, dan empat anak-anak berada dalam satu mobil dengan jok belakang dimodifikasi sehingga memuat kasur untuk beristirahat keempat putra kami.


Putra kami sangat senang, terutama saat dibawa berkeliling ke TMII dan Monas. Sayang sekali saat itu Monas sedang direnovasi sehingga tidak bisa naik ke lantai paling atas.


"Ma, rumahnya tinggi-tinggi, ya!" celoteh bungsu.


"Itu namanya pencakar langit, Dik!" ujar sulung sambil menunjuk-nunjuk.


"Iya. Tingginya sampai ke langit, ya!" tukas putra kedua.


"Wooaahhh ... kapan ya kita bisa ke atas sana?" lanjut putra kedua.


"Kita harus belajar dengan rajin. Kata Mama, jika kita pandai, kelak kita dapat menjadi apa saja yang kita inginkan. Begitu, 'kan Ma?" teriak sulung dari jok belakang.


"Iya, betul banget! Kelak kalian pasti bisa sampai tingkat teratas!" kata sepupuku menimpali pembicaraan mereka sambil mengendalikan kendaraan.


Bersyukur, kini setelah bertahun-tahun berlalu, putra sulung dan putra kedua kami menetap di ibu kota, sementara bungsu masih menyelesaikan program doktornya berbeasiswa di Texas. Kerlap kerlip lampu di ibu kota itu ternyata memotivasi ketiga putra kami untuk sukses berkarier sehingga bisa membawa kami orang tuanya ke mana pun.


Saat aku lepas purnatugas, diajaknya aku dan suami ke negeri jiran untuk menikmati pemanfaatan paspor. Sungguh, mana pernah aku terpikir terbang hingga luar negeri. Orang desa sepertiku berjalan jauh lintas provinsi saja sudah sangat bersyukur. Sekali lagi kerlap-kerlip lampu ibu kota di malam hari itu membuat tepekur, betapa agung karya-Nya. Putra kami telah mikul duwur mendem jero, menaikkan harga diri kami di mata keluarga, teristimewa yang dahulu pernah mem-bully masa kecilku. Aduhai, kian deras air mata mengingat karya nyata-Nya yang luar biasa. Soli deo gloria!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun