Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - belajar mengingat dan menulis apa yang diingat

Menulis dengan sukacita sebab hati yang gembira adalah obat

Selanjutnya

Tutup

Diary

Kerlap-kerlip Lampu Ibu Kota Kita

9 Mei 2024   00:54 Diperbarui: 9 Mei 2024   00:59 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler


"Terima kasih, Tuhan!" sujud kami berdua di lantai kamar hotel itu. Sejujurnya, seumur-umur belum pernah aku menginjakkan kaki di hotel semewah itu. Sementara suamiku, yang pernah menjabat sebagai manajer salah satu hotel di kota kecil kami, sudah terbiasa dengan suasana hotel. Sangat jauh berbeda denganku yang dapat dikatakan orang udik ini. Karena itu, memperoleh kesempatan emas seperti ini sungguh sangat membuatku terharu.


Sepeninggal mereka kami berdua berdoa agar acara besok berjalan dengan lancar. Kami pun mencoba menikmati indahnya pemandangan ibu kota malam hari itu dengan sukacita.


Dua puluh tahunan silam, ketika melahirkan sulung aku masih berstatus mahasiswi salah satu perguruan tinggi. Bahkan, hingga kelahiran putra kedua kami yang hanya berjarak dua puluh bulan, aku baru bisa menyelesaikan kuliahku. Terbayangkan bukan bagaimana sibuknya mengurus dua balita sambil kuliah? Namun, kami tetap bersyukur dan bekerja keras untuk mempersiapkan masa depan mereka.


Saat itu, tentu saja perekonomian kami masih labil, bahkan sering kali kami utang susu ke toko kecil depan rumah kontrakan. Warung milik tetangga. Namun, Tuhan selalu baik kepada kami. Kepada anak-anak kami, Tuhan menghadiahkan susu dan makanan bayi dari salah satu rumah sakit secara gratis sehingga kebutuhan nutrisi putra kami tercukupi dan tercukupkan.


Saat sulung berusia sepuluh tahun, adik kedua delapan tahun, sementara bungsu masih empat tahun, kami mendapat kesempatan bertandang ke ibu kota. Salah satu saudara sepupu mengajak kami bersilaturahmi ke rumah saudara yang berada di ibu kota. Dengan L-300 kami menuju ke ibu kota. Penumpang dewasa lima orang, dan empat anak-anak berada dalam satu mobil dengan jok belakang dimodifikasi sehingga memuat kasur untuk beristirahat keempat putra kami.


Putra kami sangat senang, terutama saat dibawa berkeliling ke TMII dan Monas. Sayang sekali saat itu Monas sedang direnovasi sehingga tidak bisa naik ke lantai paling atas.


"Ma, rumahnya tinggi-tinggi, ya!" celoteh bungsu.


"Itu namanya pencakar langit, Dik!" ujar sulung sambil menunjuk-nunjuk.


"Iya. Tingginya sampai ke langit, ya!" tukas putra kedua.


"Wooaahhh ... kapan ya kita bisa ke atas sana?" lanjut putra kedua.


"Kita harus belajar dengan rajin. Kata Mama, jika kita pandai, kelak kita dapat menjadi apa saja yang kita inginkan. Begitu, 'kan Ma?" teriak sulung dari jok belakang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun