Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Penulis novel: Damar Derana, Tresna Kulasentana, Centini, Gelang Giok, Si Bocil Tengil, Anyelir, Cerita Cinta Cendana, Rahim buat Suamimu, dll. Buku solo 29 judul, antologi berbagai genre 171 judul.

Masih terus-menerus belajar: menulis, menulis, dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Yang Menyentuh Hatiku

8 Mei 2024   18:31 Diperbarui: 8 Mei 2024   23:51 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Yang Menyentuh Hatiku
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

Mohon maaf. Jika aku menceritakan hal berikut, bukan berarti pamer, melainkan ingin berbagi berkat. Itu saja. Apa yang pernah aku alami dan hal apa yang sangat menyentuh hatiku saat bersama bungsu, sungguh merupakan peristiwa yang tidak dapat kulupakan. Masih terbayang dalam ingatan, dan terngiang dalam memoriku. Bersyukur kepada Tuhan yang memberikan kesempatan bersamanya. Ini sungguh menggugah kerinduanku padanya. Berharap tak lama lagi dia pulang ke tanah air dengan membawa segenggam berlian berupa ilmu yang akan bermanfaat bagi bangsa dan negara. Amin.


Aku dan si bungsu sedang semobil. Kami pulang dari perjalanan ke rumah seorang teman yang sedang sakit. Kami hanya berdua. Aku bertugas menyetir, sementara bungsuku berada di jok depan di sampingku. Dia bercerita banyak mengenai aktivitasnya dan apa saja yang bisa kami obrolkan. Karena hanya saat-saat demikianlah kami bisa memiliki our time.


Sejak kami memperoleh rumah lain, bungsuku tinggal di rumah yang satu lagi ditemani bude sebagai pamong. Pamongnya ini kakak suamiku yang mengasuh dan merawatnya sejak lahir. Maklum, sejak sebelum lulus kuliah dan belum menikah, aku sebagai perempuan sibuk dengan tugas mengajar di beberapa tempat. 


Bungsu bilang ingin memiliki bisnis sendiri, yakni sebagai bapak indekos bagi mahasiswa di almamaternya. Uang hasil indekos itulah yang hendak digunakan untuk menambah-nambah biaya hidup dan kuliahnya.


"Anggap saja aku indekos, tetapi Mama nggak membayar indekosku ... hehe ...! Uang indekos anak-anak berarti bagianku, ya Ma. Mama jangan memintanya!" katanya.


Sementara aku dan ayahnya tinggal berdua di rumah lain, kami jarang bisa bertemu setiap hari. Setiap minggu memang kami upayakan untuk bertemu agar rasa rindu pun terobati. Apalagi dua kakaknya yang lain sudah hijrah ke ibu kota sejak beberapa tahun silam.


Saat sampai di dekat Museum Brawijaya, tetiba dia berseru, "Ma, Ma ... putar balik, Ma!" mendapat aba-aba begitu tanpa bertanya aku pun memutar balik arah kendaraanku.


"Situ, Ma ... aku turun di situ itu, loh!" teriaknya sambil menunjuk seseorang yang sedang duduk di trotoar.


Dia bergegas turun dan ketika datang ke kaca sebelah, dia bilang lagi, "Ma, lihatlah. Kasihan banget orangnya. Bisa nggak Ma kita antar dia sebentar!"


Aku pun turun dari kendaraan. Kulihat seorang ibu sepuh menjajakan dagangan, yakni ketan bubuk. Ibu itu berkata sambil berurai air mata ....

 
"Nembe niki kulo ditumbasi lan dibayar kathah sanget!" sambil ditunjukkan uang merah seratusan yang berasal dari bungsu. 

Dia katakan bahwa baru kali ini ada orang yang membayar atau memborong dagangannya dengan uang yang berlebih seperti itu.

 "Mboten nopo-nopo, Mbah! Njenengan kulo ndherekaken teng pundi? Monggo numpak kendaraan kulo!" kata bungsu sambil menggamit lengannya mengajak menaiki kendaraan kami. Bungsu mengajaknya bersama mobil kami ke mana arah tujuannya.

 
"Mboten ... kulo tak mlampah mawon. Mboten! Kulo ajeng tumbas ketan kalih kelopo teng peken!" si embah tidak mau diantar dengan alasan akan berjalan kaki menuju pasar untuk membeli beras ketan dan kelapa.


"Duuhh ... kakinya bengkak, loh Ma! Sayangnya aku tidak membawa steteskop dan obat-obatan hari ini. Kalau gitu, aku harus selalu membawa ke mana pun pergi, nih!" sesalnya.


Aku membenarkan idenya yang memang sangat baik itu.


Hatiku sangat tersentuh melihat betapa dermawannya si bungsu tatkala melihat orang kecil. Apalagi kepada orang-orang sepuh yang seharusnya sudah tinggal menikmati hidupnya dengan diam di rumah saja. Bungsuku memang tidak tega melihat hal yang seperti itu.


Pernah dia bercerita dan meminta kepadaku via telepon untuk memberikan kasur kapuk kami yang sudah tak terpakai lagi. Dia berencana akan memberikan kepada seseorang yang menurutnya lebih membutuhkan dan layak menerima.


Orang itu katanya juga ibu sepuh yang tinggal di gubuk dekat salah satu kampus universitas swasta tidak jauh dari rumah kami. Bungsuku mengetahui masalah itu saat berjalan kaki melewati daerah situ. Dilihatnya ibu sepuh ini berjualan sesuatu, tetapi dagangannya masih utuh tidak tersentuh. Di situlah dia berinisiatif untuk mengecek kesehatannya secara gratis. Dan diketahuinya bahwa kondisi ruang tidurnya sangat tidak layak.


Maka, dia meminta seorang tukang becak yang sedang mangkal di dekat situ untuk mengikuti sampai rumah. Kemudian meminta membawa kasur kapuk tersebut kepada si embah di dekat jembatan kecil. Beruntung ada tukang becak yang bisa dipercaya dan dimintai tolong. Sedang si bungsu berjalan kaki untuk kembali dengan membawakan obat-obatan yang diperlukan.


Melihat betapa baik hatinya, aku pun suatu saat meminta tolong. Kuajaklah ke rumah temanku yang sedang menderita sakit jantung. Temanku ini kadang masuk, kadang tidak masuk. Saat bertemu di kantor kutanya, apakah sudah memeriksakan diri ke dokter. Sebagai pegawai kecil, petugas administrasi sekolah berstatus honorer, dengan berkaca-kaca mengatakan bahwa dia takut ke dokter karena masalah biaya. Apalagi istrinya baru saja melahirkan putri kedua sekitar dua bulan lalu.


Maka kubawalah si bungsu ke rumahnya. Si bungsu sebenarnya merekomendasikan ke rumah sakit, tetapi sekali lagi terkendala faktor biaya. Akhirnya, si bungsu hanya memberikan beberapa obat dan berjanji akan berkonsultasi dengan ahli penyakit jantung sahabatnya.


Seorang kardiolog teman si bungsu sebenarnya memberikan penawaran untuk pemeriksaan bebas bea, tetapi ada saja alasannya.
Seperti  keluhan yang disampaikan kepadaku, "Aku ini masih muda sudah dikasih sakit begini. Aku takut Bu, tidak bisa melihat tumbuh kembang anakku!"


Saat  itu aku hanya memotivasi saja, "Tuhan memberi penyakit, tentu juga memberi obat dan solusinya! Percaya dan semakin mendekat kepada-Nya saja, Pak!" dijawabnya dengan anggukan lesu.


Aku sempat dua kali berkunjung mengantar si bungsu visite ke rumahnya. Ternyata Tuhan memang berkehendak lain. Tuhan memanggil temanku saat putri sulung duduk di kelas 2 SD dan putri kedua masih berusia empat bulan.


Kita benar-benar tidak tahu rencana Tuhan. Padahal semula dia sangat aktif membimbing siswa dalam olahraga voli dan basket hingga beberapa kali tim siswa menjuarai lomba tingkat kotamadia. Namun, hanya hitungan bulan jantung bermasalah dan mengantar dia pulang ke alam baka.


Karena itu, kita tidak bisa memprediksi bahwa orang yang nampak sehat akan berusia panjang. Tidak bisa! Karena kematian tidak pernah melihat usia, kesehatan, atau apa saja. Jika Tuhan sudah berkehendak, orang sehat pun diambil-Nya. Semua tergantung pada otoritas dan kehendak Tuhan semata!


Temanku tersebut dua bulan sebelumnya oleh teman-teman diberi surprise saat berulang tahun. Tentu saja didoakan panjang umur, bukan? Dan anehnya, saat itu temanku tersebut mengatakan, "Senang sekali hari ini. Ada tart ulang tahun, ada tumpeng nasi kuning. Apa tahun depan aku masih bisa berulang tahun, ya?" seolah dia merasa bahwa itulah pesta ulang tahunnya yang terakhir. Itulah firasat yang tidak pernah kami, teman-temannya, menyadarinya.


Kembali dengan sikap dan perilaku bungsuku. Aku seolah sebagaimana pepatah Jawa, "Kebo nusu gudel!" kerbau menyusu kepada anak kerbau. Artinya, orang tua yang harus belajar dari yang lebih muda atau bahkan dari anaknya sendiri. Tuhan mencelikkan mataku melalui ulah dan tingkah laku positif dari bungsuku!


Tentu sebagai orang tua kami pun mengajar dan mendidik mereka dengan sangat baik. Jika mereka memiliki jiwa sosial seperti itu, pasti mereka juga melihat kami orang tuanya yang tidak pelit dalam hal berbagi kasih.


Meski kami hidup sederhana sebagai keluarga guru, ketiga putra kami juga mengetahui kalau kami sering membantu memberikan les atau kursus gratis kepada mereka yang memang tidak mampu membayar biaya les. Hanya itu yang kami mampu! Apa yang bisa kami lakukan, kami mencoba berbagi hal tersebut sehingga masyarakat yang kurang beruntung menikmati fasilitas sebagaimana layaknya.


Masalah kedermawanan, aku pun belajar banyak dari si bungsu. Bukan berarti aku tidak perhatian sama sekali dengan kaum duafa, melainkan harus meningkatkan perhatian dan kepedulian kepada mereka. Sebab kita harus yakin bahwa mereka diciptakan-Nya agar kita pun berkesempatan berbagi kasih. Entah berbagi dana atau sekadar perhatian sebab Tuhan menghendaki agar seimbang antara kasih kita kepada Tuhan dan juga kepada sesama kita.


Saat kita berbagi kepada mereka, sebenarnyalah kita sedang memiutangi Tuhan. Pasti Tuhan tidak akan tinggal diam! Tuhan tidak menutup mata! Tuhan pasti akan memberkati kita dan sesama kita juga.


Selesai

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun