Â
"Nembe niki kulo ditumbasi lan dibayar kathah sanget!" sambil ditunjukkan uang merah seratusan yang berasal dari bungsu.Â
Dia katakan bahwa baru kali ini ada orang yang membayar atau memborong dagangannya dengan uang yang berlebih seperti itu.
 "Mboten nopo-nopo, Mbah! Njenengan kulo ndherekaken teng pundi? Monggo numpak kendaraan kulo!" kata bungsu sambil menggamit lengannya mengajak menaiki kendaraan kami. Bungsu mengajaknya bersama mobil kami ke mana arah tujuannya.
Â
"Mboten ... kulo tak mlampah mawon. Mboten! Kulo ajeng tumbas ketan kalih kelopo teng peken!" si embah tidak mau diantar dengan alasan akan berjalan kaki menuju pasar untuk membeli beras ketan dan kelapa.
"Duuhh ... kakinya bengkak, loh Ma! Sayangnya aku tidak membawa steteskop dan obat-obatan hari ini. Kalau gitu, aku harus selalu membawa ke mana pun pergi, nih!" sesalnya.
Aku membenarkan idenya yang memang sangat baik itu.
Hatiku sangat tersentuh melihat betapa dermawannya si bungsu tatkala melihat orang kecil. Apalagi kepada orang-orang sepuh yang seharusnya sudah tinggal menikmati hidupnya dengan diam di rumah saja. Bungsuku memang tidak tega melihat hal yang seperti itu.
Pernah dia bercerita dan meminta kepadaku via telepon untuk memberikan kasur kapuk kami yang sudah tak terpakai lagi. Dia berencana akan memberikan kepada seseorang yang menurutnya lebih membutuhkan dan layak menerima.
Orang itu katanya juga ibu sepuh yang tinggal di gubuk dekat salah satu kampus universitas swasta tidak jauh dari rumah kami. Bungsuku mengetahui masalah itu saat berjalan kaki melewati daerah situ. Dilihatnya ibu sepuh ini berjualan sesuatu, tetapi dagangannya masih utuh tidak tersentuh. Di situlah dia berinisiatif untuk mengecek kesehatannya secara gratis. Dan diketahuinya bahwa kondisi ruang tidurnya sangat tidak layak.
Maka, dia meminta seorang tukang becak yang sedang mangkal di dekat situ untuk mengikuti sampai rumah. Kemudian meminta membawa kasur kapuk tersebut kepada si embah di dekat jembatan kecil. Beruntung ada tukang becak yang bisa dipercaya dan dimintai tolong. Sedang si bungsu berjalan kaki untuk kembali dengan membawakan obat-obatan yang diperlukan.
Melihat betapa baik hatinya, aku pun suatu saat meminta tolong. Kuajaklah ke rumah temanku yang sedang menderita sakit jantung. Temanku ini kadang masuk, kadang tidak masuk. Saat bertemu di kantor kutanya, apakah sudah memeriksakan diri ke dokter. Sebagai pegawai kecil, petugas administrasi sekolah berstatus honorer, dengan berkaca-kaca mengatakan bahwa dia takut ke dokter karena masalah biaya. Apalagi istrinya baru saja melahirkan putri kedua sekitar dua bulan lalu.