Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Menulis sebagai refreshing dan healing agar terhindar dari lupa
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis dengan bahagia apa yang mampu ditulis saja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pada Penerbangan Perdana

4 Mei 2024   00:49 Diperbarui: 4 Mei 2024   01:10 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada Penerbangan Perdana

Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

Sore itu gerimis rinai masih juga turun. Udara sejuk merasuki teras yang dihiasi beberapa pot gantung dengan anggrek warna-warni. Lisna sedang membaca sebuah novel sambil menikmati segelas teh dan pisang goreng hangat buatan ibu. Kue favorit keluarga itu selalu menjadi primadona. Apalagi di malam Minggu seperti itu.

Tak lama kemudian, sebuah mobil Jazz silver metalik memasuki halaman rumah. Lisna segera beranjak untuk membawakan dua buah payung menyongsong kedatangan Bagas kekasihnya.

"Hai, Mbak!" seru Risma muncul dari pintu depan mobil tunangannya.

Lisna terkesiap melihat sang adik turun dari mobil kekasihnya. Mereka berdua? Dari mana? Akan tetapi, segera ditepis pikiran buruk itu dan tetap diserahkan sebuah payung untuk Bagas sang kekasih.

"Biar Risma saja duluan!" ujar Bagas memberikan kesempatan agar Risma mendapat prioritas. Lisna pun menyerahkan payungnya kepada Risma.

"Terima kasih, ya Mbak!" ujarnya manja. Lisna hanya tersenyum tipis.

Tiba-tiba gawai Bagas berdering. Ibu meminta segera pulang karena penyakit ayah kambuh. Karena itu, ketika Lisna menyerahkan payung, Bagas mengatakan bahwa dia harus segera pulang. Dia tidak singgah ke rumah dan berjanji besok pagi akan datang kembali. Lisna tidak bisa mencegah, padahal besok pagi ia harus menghadiri acara pernikahan salah seorang teman di luar kota.

***

Hatinya bulat. Dia harus meninggalkan rumah dan ibu secepatnya. Tidak bisa lagi ditangguhkan. Sebelum hari itu terjadi, dia sudah harus pergi. Itulah tekadnya.

Pagi-pagi sekali Lisna bersiap-siap hendak meninggalkan rumah. Ketika selesai mandi, Lisna menghampiri ibunya di dapur. Si ibu yang sedang mempersiapkan masakan dipeluk dari belakang dan dibisiki bahwa dia harus pergi. Ibu pun menangguhkan memasak dan mengikuti ke dalam kamar.

"Lis, tidakkah kau pikirkan lagi?" Ibu masih mengusap air mata. Mendekati dan duduk di ujung ranjang.

"Tidak, Bu. Izinkan Lisna pergi. Please ...." Suaranya parau. Digigitlah bibirnya agar isak tertahan.

Dibukanya almari. Dipilih beberapa potong baju, ditata, dan dimasukkan ke dalam koper. Dikemasi juga barang-barang yang ada di atas nakas. Peralatan kosmetik tidak ada satu pun yang tertinggal, semua sudah masuk ke dalam tas jinjing yang dipersiapkan. Sebuah laptop tidak lupa dimasukkan ke dalam tas khusus. Satu koper, satu tas jinjing, ransel laptop, dan sebuah handbag mungil sudah siap.

Lisna sudah memesan travel secara online sejak semalam, tetapi kepada ibu dia tidak mengatakan hendak pergi ke mana.

"Kamu hendak ke mana? Nggak pamit adikmu?" tanya ibu.

Lisna hanya menggeleng pelan. Dipeluknya sang ibu sambil membisikkan permohonan maaf sekaligus restu.

Beberapa saat kemudian, travel jemputan tiba. Lisna memeluk ibunya. Kemudian segera pergi meninggalkan ibu dengan sisa isaknya. Travel menuju bandara di kota provinsi siap meluncur di pagi yang masih sepi dan dingin itu.

Sampai di bandara, Lisna segera mencari tiket dengan tujuan Mataram. Beberapa maskapai penerbangan dijelajahi untuk mencari informasi. Akhirnya diperolehlah salah satu maskapai yang transit di kota itu. Bersyukur masih diperoleh tempat duduk seperti yang diidam-idamkannya. Ini penerbangan perdana bagi Lisna. Dia bertekad hendak mengubah hati dan masa depannya. Dia akan terbang ke langit biru meninggalkan rasa sakit yang mengiris hatinya.

Sekitar dua jam kemudian, siang itu dia terbang ke kota mutiara. Kota yang belum pernah dikunjungi dan tidak ada seorang pun yang dikenal di sana. Namun, Lisna yakin pasti mampu mengatasi kemelut hidup yang baru saja melandanya. Bersyukur telah berhasil ditinggalkannya rumah dan keluarga yang menorehkan kenangan buram dari potret kehidupan. Dia bertekad hendak menapaki lembaran kehidupan yang baru. Biarlah yang sudah lalu berlalu, akan digapainya masa depan dengan penuh harapan.

Masih diingat dengan jelas dua hari lalu tatkala makan malam bersama, ibu melaporkan kondisi kesehatan Risma. Dua bulan terakhir Risma sakit-sakitan. Masuk angin hampir setiap hari. Nafsu makan pun turun drastis sehingga tubuhnya lemah tanpa tenaga. Ketika diantar ibu ke puskesmas, ternyata Risma dinyatakan positif hamil menjelang tiga bulan. Adik kesayangan satu-satunya itu telah menusuknya dari belakang.

Sore hari ketika Bagas datang ke rumah, dia mengatakan hendak meminta maaf. Lisna masih belum memahami duduk persoalannya sehingga dipersilakan Bagas seperti biasanya. Namun, Bagas meminta Lisna agar ibu dan Risma diizinkan duduk semeja. Dengan polos Lisna pun menyetujui permintaan kekasihnya itu. Pikirnya pasti sang kekasih hendak memberikan surprise padanya.

Di depan Lisna, Bagas sang tunangan itu mengaku khilaf. Bagas meminta maaf dan bersedia bertanggung jawab atas kehamilan Risma. Bagas mengakui bahwa janin yang ada di rahim Risma adalah anaknya.

"Ibu, Lisna, maafkan saya. Izinkan kami segera menikah," Bagas berujar sambil berdiri mendekati Risma.

Mendengar berita mengejutkan itu, Lisna sontak segera berdiri dan menghambur ke dalam kamar pribadinya.

"Surprise yang tidak etis," pekiknya.

Dikuncilah pintu kamar itu dan dilemparkanlah dirinya ke atas kasur empuk. Ditumpahkan tangis dan segenap kekecewaan yang selama ini mengganjal. Dicurahkanlah semua yang dipendam dalam hati. Kalau berebut mainan, memang sudah sejak kecil selalu mereka berdua alami. Bando, kalung, sepatu, bahkan baju yang Lisna miliki selalu diinginkan adiknya itu. Anehnya sang ibu selalu memintanya mengalah. Sebagai seorang kakak yang baik, dalihnya.

"Kasihan adik, Lis. Berikan saja. Esok Ibu ganti yang baru!" dengan kesal Lisna selalu mengalah.

Selalu saja si ibu membela sang adik sehingga ulahnya makin merajalela. Lisna merasa sang adik selalu menindas dan melecehkan dirinya. Itu dulu semasa mereka masih kecil. Nah, sekarang? Masih saja acara rebut-merebut itu dilakukan sang adik.

Kalau barang-barang kesukaan, mungkin Lisna masih bisa merelakannya. Akan tetapi, merebut kekasih yang sebentar lagi akan menjadi suami, bisakah ditoleransi? Inikah dampak dari sikap si ibu yang selalu membela sang adik? Lisna tak habis pikir!

***

"Maafkan aku, Lis. Dalam hal ini akulah yang bersalah!" kata Bagas dengan elegan.

Tidakkah dia berpikir bahwa kata itu bagai palu godam yang menghancurkan hatinya? Hati yang hanya satu itu telah remuk berkeping-keping dan tak mungkin dapat disatukan kembali. Apalagi Risma yang sudah mengandung anak calon suaminya itu hanya diam membisu seribu bahasa. Tidakkah dia berpikir kalau hal itu sama dengan menguburnya hidup-hidup? Bukan sekadar melukai, melainkan berhasil membunuh! Sungguh sangat hebat daya bunuhnya, bagaikan sianida yang langsung to the point menuju sasaran!

Di dalam pesawat, Lisna memperoleh kursi di tengah, sementara kursi dekat jendela kosong. Oleh karena itu, dia berencana menggeser seandainya kursi itu memang kosong. Sebelah kanan seorang pemuda kekar tersenyum kepadanya.

"Boleh kanalan?" sapanya.

"Iya, saya Lisna ...." Seulas senyum menyertai sapaan lembutnya.

"Oh, saya Bagus. Mungkin tujuan kita sama, ya?" tanya si pemuda.

Terkesiap darah Lisna mendengar nama mirip dengan mantan tunangannya itu. Seketika wajahnya pucat pasi mengingat sang mantan.

"Have any problem?" tanya Bagus keheranan.

Mungkin Bagus melihat perubahan raut muka Lisna. Namun, Lisna hanya menggeleng pelan. Tidak disadari air bening pun luruh dari netranya. Bagus segera menyerahkan sedompet tisu kepadanya.

"Menangis adalah cara paling efektif untuk meringankan beban batin. Menangislah agar kau lega, tetapi jangan keras-keras. Nanti orang mengira akulah penyebabnya!" Bagus menengok menyelidiki wajah Lisna sambil tersenyum.

Beberapa saat mereka berdua diam hingga pengumuman pendaratan. Hanya gemuruh mesin pesawat yang terdengar riuh. Untungnya, pesawat memang hanya sekitar satu jam mengudara. Selama itu, Lisna hanya berurai air mata sehingga Bagus pun tidak mengusik. Akan tetapi, tatkala pesawat hendak mendarat, Bagus menanyakan tujuannya.

Ketika Lisna hanya menggeleng, Bagus kebingungan. Apa maksud gelengan kepala itu? Sementara Lisna belum mampu menceritakan karena masih berurai air mata. Maka, Bagus memutuskan untuk mengikuti gadis manis itu karena dia sendiri juga belum mengetahui tempat yang hendak dituju secara pasti.

Sore sekitar pukul lima pesawat mendarat dengan mulus. Selama menunggu bagasi hampir satu jam, Bagus tetap membersamai Lisna. Setelah Lisna menguasai diri, bagasi milik mereka juga sudah berada di tangan, Bagus mengajak Lisna mencari rumah makan. Seharian perut belum terisi makanan membuat mereka seakan tanaman layu.

Setelah menikmati makanan dan minuman hangat, Lisna tampak lebih baik. Sepiring nasi soto Lamongan yang ada di seputar bandara ternyata lumayan enak.

"Tujuanmu mau ke mana?" tanya Bagus.

"Ceritanya panjang. Intinya aku sedang melarikan diri dari sebuah pengkhianatan!" jawab Lisna pelan.

"Adakah tempat yang bisa kau tuju di kota ini?" tanya Bagus menginterogasi. Lisna menggeleng perlahan.

"Namanya saja orang minggat, maka aku tidak tahu ke mana arah tujuanku melangkah!" jawab Lisna lirih.

Bagus pun tertawa. Lisna kaget, tetapi kemudian tersenyum.

"Kau nggak nanya ke mana tujuanku?" Bagus gencar bertanya. Lisna pun hanya menggeleng.

"Ok. Aku akan menjawab pertanyaanku sendiri. Dengarkan, ya!" Bagus mencoba mencairkan suasana.

"Aku mendapatkan pekerjaan baru di sini. Nah, aku akan mendapatkan rumah dinas. Pertanyaanku, sekarang ... "

"Apa?" Lisna membelalak sebelum Bagus melanjutkan.

"Ha ... kuulang, ya. Aku akan mendapat rumah dinas, tetapi aku tidak mau sendiri!"

"Rumah dinas?" sergah Lisna sambil mencondongkan badan.

Bagus mengangguk-angguk sambil tersenyum.

"Masalahnya ... aku tidak mau sendiri. Nah, kamu nggak punya tujuan, 'kan?" tegas Bagus.

Lisna pun mengangguk.

"Maukah kamu menikah denganku agar kita bisa serumah?" tanya Bagus dengan kesungguhan.

"Ha ...?" Lisna heran dan bingung.

"Mau, ya? Supaya aku dan kamu berteman seumur hidup!" sambil diraihnya tangan kanan Lisna.

Bagus pun menceritakan bahwa beberapa bulan lalu tunangannya minta pisah karena mencintai pria lain. Mantan tunangannya tersebut kini sudah menikah. Bagus yang sudah tidak memiliki orang tua lagi menanggapi hal itu dengan santai saja karena dia pikir pasti Tuhan mempunyai rencana yang indah dalam kehidupannya. Hari ini, Bagus yang juga sepesawat dengan Lisna, merasakan bahwa penerbangannya diatur sedemikian rupa oleh Tuhan. Penerbangan perdana ini membawa berkah luar biasa.

Malam itu mereka berdua berikrar hendak sehidup semati. Biarlah Tuhan yang telah mempertemukan menyelipkan cinta kepada mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun