Sore hari ketika Bagas datang ke rumah, dia mengatakan hendak meminta maaf. Lisna masih belum memahami duduk persoalannya sehingga dipersilakan Bagas seperti biasanya. Namun, Bagas meminta Lisna agar ibu dan Risma diizinkan duduk semeja. Dengan polos Lisna pun menyetujui permintaan kekasihnya itu. Pikirnya pasti sang kekasih hendak memberikan surprise padanya.
Di depan Lisna, Bagas sang tunangan itu mengaku khilaf. Bagas meminta maaf dan bersedia bertanggung jawab atas kehamilan Risma. Bagas mengakui bahwa janin yang ada di rahim Risma adalah anaknya.
"Ibu, Lisna, maafkan saya. Izinkan kami segera menikah," Bagas berujar sambil berdiri mendekati Risma.
Mendengar berita mengejutkan itu, Lisna sontak segera berdiri dan menghambur ke dalam kamar pribadinya.
"Surprise yang tidak etis," pekiknya.
Dikuncilah pintu kamar itu dan dilemparkanlah dirinya ke atas kasur empuk. Ditumpahkan tangis dan segenap kekecewaan yang selama ini mengganjal. Dicurahkanlah semua yang dipendam dalam hati. Kalau berebut mainan, memang sudah sejak kecil selalu mereka berdua alami. Bando, kalung, sepatu, bahkan baju yang Lisna miliki selalu diinginkan adiknya itu. Anehnya sang ibu selalu memintanya mengalah. Sebagai seorang kakak yang baik, dalihnya.
"Kasihan adik, Lis. Berikan saja. Esok Ibu ganti yang baru!" dengan kesal Lisna selalu mengalah.
Selalu saja si ibu membela sang adik sehingga ulahnya makin merajalela. Lisna merasa sang adik selalu menindas dan melecehkan dirinya. Itu dulu semasa mereka masih kecil. Nah, sekarang? Masih saja acara rebut-merebut itu dilakukan sang adik.
Kalau barang-barang kesukaan, mungkin Lisna masih bisa merelakannya. Akan tetapi, merebut kekasih yang sebentar lagi akan menjadi suami, bisakah ditoleransi? Inikah dampak dari sikap si ibu yang selalu membela sang adik? Lisna tak habis pikir!
***
"Maafkan aku, Lis. Dalam hal ini akulah yang bersalah!" kata Bagas dengan elegan.