Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Menulis sebagai refreshing dan healing agar terhindar dari lupa

Menulis dengan bahagia apa yang mampu ditulis saja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Balik Layar

3 Mei 2024   18:50 Diperbarui: 3 Mei 2024   18:54 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di Balik Layar

Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

Arloji tanganku menunjuk angka 22.42, tetapi aku masih belum bisa memejamkan netra. Ah, memang mana bisa tidur sementara istri sedang berada di ruang persiapan operasi? Maka aku terpaksa menunggu sebagai suami siaga. Ya, suami siaga yang baik tentunya.

Kulihat lelaki itu masih tidak bergeming. Duduk bagai arca di salah satu kursi dengan wajah kuyu. Membatu sendirian sambil bertopang dagu. Tak dihiraukannya meski seribu nyamuk berkerubut meminta jatah laksana vampire kelaparan. Sesekali tangan itu mengibas mengusir nyamuk yang mencoba mengganggu diamnya. Lelaki yang sejak sore tadi berada di sana!

Aku baru saja dari ruangan pasien dan kulihat istriku bisa tidur. Senang dan tenang hatiku. Karena itu aku kembali ke ruang tunggu. Ruang tunggu khusus bagi para penunggu pasien karena di kamar tidak boleh tinggal selain pasien yang bersangkutan.

Ya, ya ... sejak beberapa saat kulihat lelaki itu tidak beranjak dari sana. Setelah menyelesaikan pembacaan renungan malam yang kuambil dari buku _Renungan Harian_ di dekat ruang tunggu, kuberanikan diri mendekatinya sambil menawarkan makanan ringan sebagai pembuka perkenalan. Istri sebelum berangkat sudah mempersiapkan makanan ringan agar kami tidak kesulitan. Demikian juga dengan termos. Sudah dipersiaapkan dengan teliti.

"Mari Pak, sekadar pengganjal perut agar tidak masuk angin!" kusodorkan padanya kudapan yang sudah sedikit kubuka di hadapannya.

Dia tampak kaget. Sebuah tas keresek hitam yang berada di sebelah kaki digesernya dengan kakinya perlahan-lahan. Ditatapnya aku dengan sinar netra ragu. Namun, karena aku agak memaksa, akhirnya dia mau mengambilnya. Kami pun makan bersama di tengah malam itu.

Lalu aku mengambil termos berisi kopi yang kubawa dari rumah sore tadi. Kupikir bisa kugunakan sebagai pengusir dingin di malam hari. Termos itu berisi sekitar dua gelas. Karena itu, bisalah sedikit berbagi dengannya. Kutuang secangkir kopi hangat dan kusodorkan lagi kepadanya.

"Yang sakit siapa, Pak?" tanyaku agak berbisik supaya tidak mengganggu ketenangan.

"Istri," katanya hampir tak terdengar.

"Ooh, kalau boleh tahu ... sakit apa, Pak?" tanyaku sambil menutup termos kembali.

"Besok pagi harus operasi. Plasentanya menutup jalan lahir," jawabnya sambil menunduk. Kudengar suaranya tergetar saat mengatakan masalahnya.

Aku tertegun. Biaya operasi caesar jelas tidak murah. Sementara kulihat kondisinya menunjukkan bahwa beliau bukan orang berada. Hal ini tampak dari penampilan yang sangat bersahaja.

Aku memang pernah mendengar quotes _don't judge a book by its cover_. Namun, dalam menghadapi bapak di depanku ini, mau tidak mau aku terpengaruh juga.

Aku jadi teringat betapa kami berdua, aku dan istriku, bersusah payah agar istri dikarunia bisa hamil. Serentetan pemeriksaan telah kami lakukan. Tiup _tuba falopi_ pun dilakukan agar istri segera hamil, digelontor vitamin penyubur, dan berbagai cara telah kami lakukan hingga akhirnya diberi kesempatan hamil.

Masih terngiang rajuk istri saat itu, "Pa, kalau aku tidak bisa hamil, apa Papa setuju kita mengadopsi dari panti asuhan?" tanyanya dengan segumpal embun bergelayut pada netranya.

Aku mengambil napas panjang dan membuangnya sembarangan, "Nggak, Ma. Jangan pernah menyerah. Kita pasti dikaruniai anak. Bersabarlah. Papa yakin, sebentar lagi!" hiburku dengan lembut.

Aku tersenyum. Akhirnya, malam ini istri harus opname karena besok pagi rencana operasi caesar kelahiran putra pertama kami. Itulah sebabnya malam ini aku berada di tempat ini.

Kudengar lamat-lamat lelaki itu juga mengambil napas panjang dan membuang dengan kasar, seperti yang barusan kulakukan. Namun, aku masih terdiam. Tak berani mengorek terlalu dalam untuk menjaga perasaannya.

"Saya juga sedang giliran jaga malam sebagai suami siaga," kataku memecah kebuntuan suasana.

"Saya tidak tahu harus bagaimana ...," keluhnya lirih. Suaranya bergetar.

"Kami berdua sangat mendambakan anak itu, tapi entah kenapa ... sejak istri hamil rezeki seolah tersumbat. Saya ... saya justru dipecat ...." Lalu, tangisnya pun terdengar tertahan.

Mendengar tangis itu spontan kupeluk bahunya. Di hatiku ada suara yang mengusik agar aku membantu meringankan bebannya. Memang di dalam tasku masih ada sebuah amplop bonus yang belum kubuka. Sedangkan biaya persalinan istri sepenuhnya ditanggung perusahaan tempatku bekerja. Oleh karena itu, sebagai calon suami, aku merasa tenang tidak terbeban.

Sambil tergugu, lelaki itu menceritakan usahanya agar si istri hamil. Kata orang harus memancing dengan cara mengasuh anak saudara. Mereka sudah melakukan, tetapi karena kondisi ekonomi kurang baik, ketika si anak yang diasuh sejak balita itu akan masuk sekolah dasar, orang tuanya meminta kembali.

"Setelah itu istri _walik dadah_ ke dukun bayi seperti dibilang orang. Disuruhnya makan kecambah kacang ijo tiap hari. Dan alhamdulilah akhirnya istri mengandung," ceritanya lirih.

Tetiba aku teringat ayat yang kuterima minggu lalu yang diambil dari "Menolong orang miskin sama seperti memberi pinjaman kepada TUHAN, nanti TUHAN juga yang akan membalasnya."

Aku pun teringat dua tahunan silam tatkala istri mengemukakan hendak mengikuti program bayi tabung.

"Haduuuhh ... pasti biayanya mahal," pikirku dengan hati menciut.

Namun, aku tidak berani mengemukakan pendapat apalagi menyangkut dana cukup besar yang harus kami sediakan dalam rangka program bayi tabung tersebut. Saat itu aku hanya memohon kepada Tuhan Yesus, kiranya kami diberi kemurahan dan kemudahan. Biarlah Tuhan Yesus yang melakukan rencana kami menghadapi program hamil tersebut.

Aku yakin tidak ada segala sesuatu yang mustahil bagi Tuhan. Bukankah banyak peristiwa di Alkitab karya ajaib Tuhan yang memberikan buah hati kepada siapa pun yang meminta dengan berdoa secara tulus dan sungguh-sungguh? Inilah keyakinanku saat itu!

Selanjutnya, saat itu perlahan-lahan kuindoktrinasikan kepada istri agar tetap berserah diri memohon pertolongan-Nya sebagaimana satu ayat emas yang kuingat, "_Serahkan hidupmu kepada TUHAN dan percayalah kepada-Nya dan Ia akan bertindak_" dan juga "_Sampai sekarang kamu belum meminta sesuatu pun dalam nama-Ku. Mintalah maka kamu akan menerima supaya penuhlah sukacitamu_.

Berdasarkan dua ayat inilah akhirnya delapan bulan lalu, ketika memeriksakan diri ke dokter spesialis kandungan dinyatakan bahwa istri positif hamil. Aku percaya bahwa itu adalah mujizat yang luar biasa setelah lima tahun menunggu dengan berikhtiar ke sana kemari.

Aku sungguh mempercayai kuasa Tuhan yang telah membuka kandungan Hana pada Perjanjian Lama, tepatnya juga kisah Elisabet dalam Perjanjian Baru.

Kedua perempuan itu dinyatakan mandul, tetapi Tuhan memberikan keduanya anak-anak yang hebat. Hana dianugerahi Yeremia, nabi yang hebat itu. Sementara Elisabet memperoleh Yohanes yang terkenal sebagai Yohanes Pembaptis.

Karena itu, aku selalu meminta istriku untuk bersabar, berdoa, dan setia melakukan kehendak-Nya. Bersyukur, sampai malam ini istri diizinkan sehat dan siap untuk operasi caesar besok pagi.

Cukup lama kami terdiam tenggelam pada pikiran masing-masing di masa silam. Ya, tengah malam dingin itu, aku dan lelaki itu sama-sama menunggu kelahiran seorang anak yang sangat kami dambakan. Bedanya, kami berdua memiliki dana sebagai persiapan kelahiran, tetapi lelaki itu tidak memiliki dana.

Inilah yang mengusik hatiku. Maka kuawali dengan berdoa di dalam hati, aku berniat menyerahkan amplop yang ada di dalam tas tanpa memikirkan apa-apa. Aku mengembalikannya kepada Tuhan Yesus melalui seorang calon bapak yang ada di hadapanku ini.

"Maaf, kalau boleh tahu, apa alasan sehingga Bapak dipecat?" tanyaku perlahan-lahan dengan harapan tidak enyinggung perasaannya.

"Saya dituduh nyuri bahan bangunan," jawabnya hampir tak terdengar.

"Loh, bagaimana ceritanya?"

"Saya ikut sopir truk juragan. Sopir itulah yang memperkaya diri. Setelah itu sopir keluar dan kabur kerja di luar negeri. Saya dituduh bersekongkol. Aslinya saya nggak tahu apa-apa. Tapi juragan nggak percaya sama saya ...," ceritanya terbata-bata.

"Apakah Bapak sudah menjelaskan duduk perkaranya?" tanyaku dijawab dengan anggukan kepala lemah.

"Sudah ... tapi saya dibilangi nggak boleh balik kerja. Saya dipecat!" tatap netranya menerawang menerobos gelapnya malam tanpa gemintang.

Angin yang menggigilkan kembali bertiup sekalipun di ruangan cukup leluasa dengan beberapa tikar plastik yang tergeletak dan teronggok di dinding.

Bibirnya kulihat sekilas gemetar seolah mendremimilkan sesuatu. Aku tak tega menanyakan lebih lanjut.

"Sudah hampir setengah tahunan saya lontang-lantung. Kadang ikut tukang parkir di pasar besar agar bisa beli beras. Jadi kuli panggul saya mau lakukan meski bayarannya sangat kecil. Tak apa, asal bisa hidup. Hanya nyari makan saja ibaratnya," katanya sungguh menggores hati yang paling dalam.

"Kalau kerja serabutan di pasar, sering juga dipalak sama preman. Mereka minta kita setor, padahal pendapatan tak seberapa ...," keluhnya. "Kuberi tahu istri hamil pun nggak ada belas kasihannya juga ...!"

"Bapak punya pengalaman kerja apa?" tanyaku menelisik.

"Aslinya saya kuli bangunan. Pernah beberapa tahun silam diangkat jadi mandor. Tapi cuma sebentar. Saat itu sesama kuli bangunan bertengkar hebat hingga salah seorang terbunuh. Saya takut. Saya nggak tahan. Lalu minta keluar soalnya mereka kasar dan brutal," ceritanya dengan gesture ketakutan juga.

"Ohh, ya ... Tuhan," seruku membayangkan betapa kejamnya dunia mereka.

"Sebelum itu pernah jadi tukang kebon dinas pertanian. Tapi kantornya pindah ke kabupaten. Saya nggak mau lanjut. Kewalahan dengan kerjaan. Saat itu saya sakit-sakitan. Kata dokter puskesmas saya kena maag ...," sambil dilihatnya kakinya yang tanpa kaus kaki dan hanya pakai sepasang sandal japit usang saja. Beberapa ekor nyamuk mengelilingi telapak kaki telanjang itu. Dikibaskanlah telapak tangan kanan mengusir nyamuk yang berdenging di telinga kami.

Sementara sangat bertolak belakang dengan kakiku. Berkaos kaki tebal dan hangat dengan sepatu kets. Lalu kubalurkan juga krim obat nyamuk ke kulit yang tak tertutup jaket atau busana lain sehingga praktis nyamuk hanya mengitari mukaku.

Aku menarik napas panjang. Sedemikian sulitnya mencari kerja. Aku berandai-andai. Andaikan ada modal kerja, mungkin bisa lelaki itu kuberi rombong dorong untuk jualan bakso. Supaya higienis masakan biar dibikin istri yang jago masak sehingga terjaga kualitasnya. Ketika sedang melamun terdengar lengkingan tangis bayi dari ruangan bayi agak ke kanan sekitar dua ratus meteran. Kami terperanjat.

"Oh, seandainya ...," kata lelaki itu tak terselesaikan. Mukanya ditengadahkan mungkin agar air mata tidak tumpah lagi.

Aku tersentak. Aku juga berandai-andai jika anak pertama telah lahir ke dunia, ah .... Tiba-tiba kuingat beberapa saat tadi. Ketika aku teringat pesan Tuhan. Hatiku tergerak dan dipenuhi oleh kuat kuasa roh kudus. Aku pun bertekad mewujudnyatakan dalam tindakan.

Dini hari itu segera kuambil dan kuserahkan amplop cokelat muda yang belum kutahu berapa isinya itu untuknya. Kusisipkan pada kedua telapak tangannya.

"Allah telah memintaku untuk menyerahkan rezeki ini kepada Bapak. Tolong, jangan ditolak. Semoga bisa sedikit meringankan beban Bapak!" Aku pun berencana segera menuju ruang pasien melihat kondisi istriku. Namun, aku masih tergugu melihat betapa lelaki itu melakukan sesuatu di luar dugaanku.

Lelaki itu langsung bersujud sungkur melorot dari kursi dan menjungkalkan diri di lantai. Kudengar ia masih sesenggukan sambil menggumamkan terima kasih berkali-kali. Semakin merinding bulu kudukku menyaksikan ungkapan kebahagiaannya. Lelaki yang tidak perlu kukenal, tetapi telah mengajarkan banyak hal kepadaku.

Setelah menyerahkan amplop itu, tetiba seorang perawat jaga bergegas memanggilku. Aku begitu panik. Dikatakan bahwa istriku merasakan gelombang cinta. Dibawanya istriku menuju ke ruang bersalin dengan segera. Dokter pun ditelepon. Sementara arlojiku menunjuk angka 01.30. Satu jam kemudian, dokter datang ke rumah sakit dan segera menangani istriku. Aku benar-benar berpasrah diri di ujung ruangan sambil berdoa.

Tepat pukul 03.00 kudengar tangis bayi melengking dengan nyaringnya. Tidak jadi operasi caesar, tetapi persalinan normal dengan sangat lancar. Bukankah ini pun anugerah-Nya yang luar biasa? Allah telah menunjukkan kuasa-Nya kepada kami berdua. Soli deo Gloria!

Ketika mendengar anak kami lahir, lelaki itu menyalamiku dengan hangat. Ada butiran bening meluncur dari netranya. Akhirnya kami berpelukan meskipun badan rasanya luar biasa. Jangan bertanya baunya. Seharian belum sempat mandi. Hanya mandi keringat tentulah bau asem yang ada.

"Puji Tuhan," ungkapku juga dengan linangan air mata.

Kami memberi nama putri pertama kami itu *Hanna Joanna Dini Pramitadewi* perpaduan antara namaku dan nama istri. Hanna berarti kebaikan dan rahmat, Joana karunia Tuhan, Dini karena lahir dini hari. Pramitadewi berasal dari Pramudya (namaku) dan Candradewi (nama istri). Semoga kelak putri (yang lahir dini hari) ini menjadi wanita yang diberkati oleh Tuhan. Amin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun