"Ooh, kalau boleh tahu ... sakit apa, Pak?" tanyaku sambil menutup termos kembali.
"Besok pagi harus operasi. Plasentanya menutup jalan lahir," jawabnya sambil menunduk. Kudengar suaranya tergetar saat mengatakan masalahnya.
Aku tertegun. Biaya operasi caesar jelas tidak murah. Sementara kulihat kondisinya menunjukkan bahwa beliau bukan orang berada. Hal ini tampak dari penampilan yang sangat bersahaja.
Aku memang pernah mendengar quotes _don't judge a book by its cover_. Namun, dalam menghadapi bapak di depanku ini, mau tidak mau aku terpengaruh juga.
Aku jadi teringat betapa kami berdua, aku dan istriku, bersusah payah agar istri dikarunia bisa hamil. Serentetan pemeriksaan telah kami lakukan. Tiup _tuba falopi_ pun dilakukan agar istri segera hamil, digelontor vitamin penyubur, dan berbagai cara telah kami lakukan hingga akhirnya diberi kesempatan hamil.
Masih terngiang rajuk istri saat itu, "Pa, kalau aku tidak bisa hamil, apa Papa setuju kita mengadopsi dari panti asuhan?" tanyanya dengan segumpal embun bergelayut pada netranya.
Aku mengambil napas panjang dan membuangnya sembarangan, "Nggak, Ma. Jangan pernah menyerah. Kita pasti dikaruniai anak. Bersabarlah. Papa yakin, sebentar lagi!" hiburku dengan lembut.
Aku tersenyum. Akhirnya, malam ini istri harus opname karena besok pagi rencana operasi caesar kelahiran putra pertama kami. Itulah sebabnya malam ini aku berada di tempat ini.
Kudengar lamat-lamat lelaki itu juga mengambil napas panjang dan membuang dengan kasar, seperti yang barusan kulakukan. Namun, aku masih terdiam. Tak berani mengorek terlalu dalam untuk menjaga perasaannya.
"Saya juga sedang giliran jaga malam sebagai suami siaga," kataku memecah kebuntuan suasana.
"Saya tidak tahu harus bagaimana ...," keluhnya lirih. Suaranya bergetar.