Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Penulis novel: Damar Derana, Tresna Kulasentana, Centini, Gelang Giok, Si Bocil Tengil, Anyelir, Cerita Cinta Cendana, Rahim buat Suamimu, dll. Buku solo 29 judul, antologi berbagai genre 173 judul.

Masih terus-menerus belajar: menulis, menulis, dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebuah Rahasia

30 April 2024   10:19 Diperbarui: 30 April 2024   10:51 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah Rahasia 

Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

"Akui saja, Fem!" teriak ibuku dengan lantang.

Aku hanya diam.

"Apa yang harus kuakui kalau kenyataannya aku memang tidak mengambil uang itu? Aku tidak tahu apa-apa!" batinku memberontak.

"Ampun, Ayah ... ampun!" hanya itu yang mampu terucap dari bibirku yang bergetar hebat atas tamparan demi tamparan yang didaratkan pada pipiku.

Panas, nyeri, dan mungkin ada luka karena pedihnya sampai ke tulang. Batu akik yang ada di jemari orang yang kusebut ayah itu terasa melukai pelipisku. Namun, aku bisa apa?

Beruntung bunyi handphone Ayah berdering sehingga penyiksaannya padaku otomatis terhenti. Setelah bertelepon dengan seseorang, segera Ayah bergegas meninggalkan rumah.

"Apa sih yang membuatmu berubah menjadi pencuri seperti ini? Jangan salahkan Ayah kalau main tangan padamu!" bentak ibuku pula.

Ibu yang harusnya menjadi tempat perlindunganku, bahu tempatku menyandarkan pelukan, justru tidak pernah terjadi. Mereka adalah monster bernyawa yang selalu siap memusuhiku. Hampir setiap hari. Ya, hampir setiap hari aku tidak pernah merasakan apa yang disebut kasih sayang.

Sebelum berangkat ke sekolah, aku singgah di rumah Bu Rukmi untuk mengambil dua termos es yang siap kujajakan berkeliling kampung sepulang sekolah nanti. Ketika berada di sekolah, aku menitipkan dua termos es itu ke kantin sekolah. Satu termos untuk dijual Ibu Kantin saat istirahat, sementara yang satunya lagi akan kujajakan sepulang sekolah.

Hasil dari laba penjualan itu tidak pernah kuambil, tetapi kutitipkan pada Bu Rukmi sebagai tabungan masa depanku. Beruntung sekali beliau sangat baik kepadaku. Beliau paham kondisiku sesehari sehingga sangat pengertian kepadaku.

Aktivitasku itu tidak pernah kulaporkan kepada kedua orang tua sehingga mereka sama sekali tidak tahu-menahu kalau aku berjualan es lilin. Beruntung juga di jalanan aku tidak pernah berpapasan dengan Ayah atau Mas Bayu. Tuhan masih berpihak padaku sehingga rahasiaku aman!

Dengan aktivitasku tersebut, tentu saja aku harus berangkat ke sekolah agak lebih pagi dan pulang sekolah terlambat sekitar dua jam. Beruntung kedua orang tuaku yang dua-duanya bekerja itu tidak mengetahui jam berapa kepulanganku.

Ibuku bekerja di pabrik konveksi entah sebagai apa. Berangkat pagi pulang sore adalah kebiasaannya sehari-hari. Tidak ada hari libur baginya. Minggu pun digunakan untuk bekerja. Lembur katanya, dan upah lembur sangat menggiurkan!

Sementara ayah yang menjadi sekuriti di perumahan elite sekitar sepuluh kilometer dari rumah itu juga tidak pernah ongkang-ongkang. Selain menjadi petugas Satpam, ayah juga menjaga gudang tembakau pabrik rokok sehingga gaji ayah bisa doble.

Sedangkan Mas Bayu, kakak lelakiku satu-satunya itu bersekolah di sekolah kejuruan. Mas Bayu pendiam, bahkan sangat pendiam. Kami kakak beradik ini tidak pernah bertegur sapa, apalagi bercanda ria.

Di rumah, sepulang sekolah biasanya aku membantu bersih-bersih rumah. Kalau ibu belum sempat memasak untuk makan siang, aku akan membeli lauk di warung tidak jauh dari rumah. Memasak nasi bisa mendadak. Siapa pun bisa kalau sudah tahu takarannya. Selain itu, ada sejumlah uang yang disiapkan ibu di tempat tertentu. Bisa saja aku mengambil dengan catatan harus dituliskan untuk keperluan apa dan berapa jumlah yang diambil. Selanjutnya, sisanya harus dikembalikan ke tempatnya lagi.

***

Pada sore naas itu, katanya Ayah kehilangan uang sejumlah lima ratus ribu rupiah. Uang itu akan digunakan untuk keperluan tertentu. Karena hanya aku satu-satunya yang ada di rumah, Ayah menuduhku tanpa bukti.

"Ya, Allah ... sebenarnya siapa yang mengambil uang itu? Atau apakah Ayah lupa menaruh uangnya?"  aku tak habis pikir.

"Ini sudah ketiga kalinya Ayah kehilangan uang dan selalu hanya kamu yang ada di rumah! Mengapa kamu mencuri? Siapa yang mengajarimu jadi maling, hah?" tuduh Ayah sambil melotot dan hampir melayangkan telapak tengannya kepadaku.

Sangat beruntung keadaan menyelamatkanku. Tetiba ada tamu yang datang ke rumah. Aku selamat!

***

"Mohon maaf, Bapak. Kami diutus dari sekolah. Apakah benar ini rumah Bayu?" tanya salah seorang ibu yang masih berseragam sekolah.

"Oh, iya ... silakan masuk!" jawab Ayah santun.

Aku masih gemetaran di pojok ruang tamu.

"Buatkan minum tamunya, Fem!" teriak ayahku sambil mengajak kedua tamu itu duduk.

Dari arah dapur aku mendengar Ayah menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan oleh guru Mas Bayu.

"Apakah akhir-akhir ini Bayu kelihatan berubah, Pak?"

"Saya bekerja, Bu. Kami hampir tidak pernah bertemu dengan Bayu. Seperti saat ini, kalau saya di rumah ... Bayu bersekolah. Kalau Bayu di rumah, saya bekerja. Seperti itu, Bu!"

"Bagaimana dengan ibunya?"

"Bisa disebut ibunya pun bekerja dari pagi sampai sore, Bu!"

"Kalau malam, apakah Bayu tidak berada di rumah?"

"Dia sering berada di rumah neneknya, Bu. Di kampung sebelah. Setiap malam Bayu menemani neneknya yang tinggal sendiri!"

"Hmmm ... baiklah, Pak. Informasi Bapak akan saya sampaikan ke pihak sekolah. Bolehkah kami mengetahui alamat neneknya?" lanjut kedua guru tersebut.

"Memangnya ada masalah apa toh, Bu? Kok sampai harus mencari Bayu sedemikian rupa?" usut Ayah.

"Oh, tidak, Pak. kami hanya memantau aktivitas anak-anak seperti biasa saja. Sebelum menemukan titik terang, kami tidak bisa memberitahukan. Mohon maafkan kami. Jika data sudah terkumpul, Bapak dan Ibu akan kami panggil ke sekolah, atau kami akan datang kembali ke sini," jawab mereka.

"Hanya ...mohon maaf ya Pak, memang anak-anak usia pubertas seperti Bayu harus tetap mendapat pengawasan ketat. Kalau di rumah memperoleh pendidikan dengan baik, di luar sana pengaruh lingkungan buruk bisa jadi mengancam kehidupan putra-putri kita! Jika boleh usul, mohon pengawasan lebih prima saja," kata ibu guru yang mengenakan jaket almamater sekolahnya itu.

Ketika aku mengantarkan dua cangkir teh kembang telang, sambil mempersilakan mencicipi, salah satu ibu guru itu pun sempat mengajukan pertanyaan kepadaku.

"Mari, Bu dicicipi ... ini teh kembang telang. Sangat berkhasiat bagi kesehatan loh, Bu!"

"Wah, bagus ya warnanya biru!"

"Iya, Bu, monggo diunjuk!"

"Mbak  ini adiknya Bayu, ya?"

"Iya, Bu. Saya Femi," kataku sambil mengulurkan tangan.

Kulihat ayah diam saja tak bergeming. Sinar netranya kosong memandang ke luar rumah. Entah apa yang dipikirkan.

"Mbak  sering berkomunikasi dengan Bayu?"

Aku hanya menggeleng, "Dia jarang di rumah, Bu. Memang dasarnya pendiam anaknya!" dalihku.

"Apa aktivitas Bayu yang Mbak  ketahui? Kalau sedang di rumah, maksud Ibu."

"Paling-paling dia main game di handphone-nya, Bu!"

"Apakah Bayu sering mengajak teman ke rumah?" lanjutnya.

Aku hanya menggeleng pelan.

"Apakah Ibu mencurigai Bayu? Kalau boleh tahu, misalnya Bayu nakal, jenis kenakalan yang seperti apa?" usut Ayah.

"Sekali lagi, kami belum bisa mengemukakannya saat ini, Pak. Hal itu karena  belum cukup bukti! Maka, izinkanlah kami mohon diri karena masih ada tugas lain yang harus kami selesaikan," pamitnya.

"Mbak , terima kasih ya ... minumannya sangat nikmat dan segar. Kapan-kapan Ibu boleh tanya-tanya lagi tentang minuman ini, ya?"

"Siap, Bu!"

*** 

Sekitar dua minggu kemudian, Ayah dipanggil ke sekolah Mas Bayu. Bahkan, dijemput petugas agar mempermudah transportasi dan mempercepat kehadiran. Ibu yang sedang berada di tempat kerja pun dijemput.

Setelah dari sekolah, Ayah dan Ibu diantar pulang ke rumah. Ibu sudah izin tidak kembali ke tempat kerja. Ayah pun katanya tukar sift dengan temannya. Untunglah aku sudah selesai menjajakan daganganku sehingga sudah berada di rumah pula.

"Fem, sini sebentar!" panggil Ayah lumayan lantang.

"Ya, Ayah. Ada apa?"

"Maafkan, Ayah! Selama ini kamu menjadi sansak hidup, padahal belum tentu kamu bersalah!" kata Ayah langsung merengkuh kepalaku dan mengelusnya.

"Maafkan Ibu juga ya, Nak! Kami hanya berpikir tentang sulitnya mencari rezeki, sampai melupakan bahwa kalian pun memerlukan perhatian kami!"

Ayah dan Ibu masing-masing bergantian memelukku. Aku cukup heran, apa yang menyebabkan kedua orang tuaku berubah drastis, ya?"

"Bayu terlibat geng anak-anak nakal, bahkan sudah coba-coba menggunakan narkoba. Sekarang kasusnya sedang ditangani oleh pihak berwenang!" kata Ayah lirih sekali.

"Maafkan Bayu, Nak. Kamu menjadi sasaran kemarahan Ayah karena berada di rumah saat itu. Padahal, semua ulah Bayu," lanjut Ibu tak kalah pelan.

"Beruntung uang Femi tidak Femi bawa pulang!" seruku, "Aman!"

"Uang apa?" tanya ibuku menelisik.

"Uang beneranlah, masa uang bohongan?" seruku.

"Ada apa lagi ini? Kejutan macam apa pula?" keluh kedua orang tuaku.

Tentu saja aku tidak berniat membocorkan rahasiaku. Aku ingin menjadi pedagang kuliner sukses berawal dari aktivitasku menjajakan es lilin keliling kampung. Biarlah kedua orang tuaku tidak mengetahuinya.

"Diam, Fem!" begitu suara hatiku hingga aku pun tak hendak membocorkan rahasia tersebut.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun