Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - mengisi usia senja dan bercanda dengan kata

Menulis sesuka hati, senyampang ada waktu, dan sebisanya saja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cintaku di Kampus Itu

30 April 2024   06:26 Diperbarui: 30 April 2024   06:51 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cintaku di Kampus Itu

Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

Sudah hampir satu semester aku belajar bersamanya. Sedikit demi sedikit aku semakin memahami teori yang diajarkan pada dua mata kuliah yang kuanggap tersulit itu. Aku bisa memahami penjelasan Kak Sun dengan lebih baik dibandingkan dengan penjelasan kedua dosenku. 

Saat mengikuti tentamen pertama hingga ketiga, aku selalu bisa menaklukkan soal yang disajikan dosenku. Sayang, nilainya tidak ditunjukkan secara transparan. 

Awal semester berikutnya, saat kulihat transkripku, nilaiku luar biasa. Teman-temanku sangat heran melihat kemajuan yang kualami.

"Wuahh, ... selamat, ya Nin! Kamu memperoleh peringkat bagus pada semester dua ini!" ucap teman baikku saat melihat transkripku. 

Tepat di samping gedung D tempat kami mengambil transkrip itu, aku melihat sekelebat Kak Sun bersama beberapa temannya. Mungkin dia tidak melihatku. Aku pun tidak berniat bertemu dengannya. 

Aku dan salah satu teman wanitaku bergegas meninggalkan gedung itu. Kami ingin ke kantin sebab tiba-tiba saja perutku melilit minta diisi. Kebetulan temanku pun merasakan yang sama. Kami memilih tempat duduk agak di depan, di bawah payung raksasa sambil menunggu pesanan 'kolak kacang ijo' menu favorit kesukaan kami. 

"Loh, kita ketemu di sini, Dik!" ujar Kak Sun dengan ceria. Kami tersipu malu di hadapan teman-teman seangkatan Kak Sun. Kak Sun langsung menuju kasir untuk memesan makanan dan minuman yang mereka butuhkan setelah menanyakannya kepada masing-masing temannya.

"Oho ho ho ... pertemuan jodoh!"  seru salah seorang teman lelakinya. 

"Huss ... akan di kemanakan si Umi, kalau Sun dengan salah satu adik kita ini?" kata salah seorang temannya agak berbisik, tetapi cukup jelas di telingaku.

"Oh, ... yang dari jurusan ekonomi itukah?" tanya satu temannya yang lain. 

"Iya, konon si Sun sudah bertunangan kabarnya!" ujarnya.

"Jangan keras-keras, nanti dia mendengar!" lanjut salah seorang temannya pula.

Jujur, saat mendengar berita tersirat itu aku saangat terkejut. Selama satu semester belajar bersamanya aku merasa nyaman. Kupikir aku sudah mulai menyukainya. Aku diam-diam juga merindukannya. Tapi tiba-tiba kudengar berita seperti itu. Sungguh bagaikan halilintar yang menyambar di siang bolong.

Aku sempat tersedak. Untunglah, ada air di teko yang bisa dituang swalayan dan diminum secara gratis. Sejak saat itu aku membatasi diri. Aku tidak mau merusak hubungan percintaan mereka. Ya, tentu saja aku tidak mau menjadi pelakor. Maka, biarlah rasa cintaku yang mulai tumbuh ini kubunuh diam-diam. Kupendam saja kisah kasihku ini. Cukup kusimpan di dalam hati! 

Saat ditanyakan nilaiku, aku sempat mengucapkan terima kasih atas semua jasa dan pengorbanannya. Tak ada yang  berubah darinya, namun aku harus sadar diri. Akulah yang harus minggir dan menyingkir

Ketika perut terasa kenyang, kami pun meninggalkan kantin itu. Aku pamit mendahului Kak Sun dan teman-temannya. Aku pun tidak jadi mengantar teman wanitaku karena dia sudah dijemput pacarnya. Maka aku tinggalkan mereka dan berjalan lewat koridor menuju area parkir dengan sedikit gontai.

"Biarlah cintaku yang bersemi di kampus ini kupendam dalam-dalam dalam hatiku terdalam!" senandikaku sambil mengayun langkah menuju tempat parkir hendak mengambil motorku. 

***

Aku mengenalnya saat terlambat masuk perkuliahan. Kuliah umum yang diikuti oleh berbagai jurusan, berbagai angkatan. Aku tidak memperoleh kursi sehingga harus berdiri berbaris di tepian dinding. Lalu, seseorang memintaku duduk di sebelahnya karena kursi yang dipesan temannya kosong.

"Wuaahh, ... surprise!" kata kakak di sebelah kiriku.

"Asal dari mana, Dik?" tanyanya sambil menoleh.

"Tulungagung, Kak!"

"Wah, banyak banget manusia Tulungagung di sini, nih!" serunya sambil tertawa lirih.

"Huuss, jangan berisik!" bisik kakak di sebelah kananku yang memberikan kursinya.

Tiba-tiba aku merasa rambut panjangku ditarik dari belakang sehingga mau tidak mau aku harus menoleh.

"Iihh, sakit tahu!" jeritku kesakitan.

"Jangan berisik, kuliah sebentar lagi dimulai!" sergah tetanggaku sekali lagi.

"Rambutku ditarik, Kak! Nggak sopan banget, 'kan?"

"Jangan ditarik lagi, Semprol!" katanya kepada seseorang yang menarik rambutku.

"Ikat saja rambutmu, Dik!" kata kakak di sebelah kananku sambil mengangsurkan karet gelang padaku. 

"Kuliah memang sejogyanya tidak mengurai rambut seperti itu. Maka rambutmu ditarik!" nasihatnya.

"Ohh, ... memang ada aturan gitu?" bisikku.

"Iya, konvensi. Artinya, peraturan tidak tertulis!"

"Ohh, ...!" 

(Sejak saat itu jika pergi kuliah selanjutnya aku menggunakan wig model rambut pendek. Sementara rambut panjangku kusembunyikan di balik wig itu sehingga tidak ada lagi yang menarik-narik dari belakang. Untunglah aku memiliki beberapa wig yang bisa kupakai untuk mengelabui teman usil saat kuliah berlangsung. Nanti, jika kuliah selesai, mudah saja kulepas. Dan tentu saja rambut sepinggangku tergerai kembali.)

Kuliah selesai. Kami berhamburan keluar dari ruang kuliah paling besar itu. Ya, ruang kuliah yang menampung seratusan mahasiswa sehingga seringkali digunakan sebagai ruang kuliah mata kuliah umum, seperti Kewiraan, Agama, atau Pancasila seperti yang kuikuti saat itu.

Kakak yang tadi memberikan kursinya tiba-tiba menjejeri langkah kakiku.

"Ehh, kita belum sempat berkenalan. Kenalkan, aku Sunarno, biasa dipanggil Sun, dari Tulungagung juga. Aku dua tingkat di atasmu, Dik! Sekarang sedang menulis penelitian!"  katanya memperkenalkan diri.

"Iya, Kak!"  jawabku sekenanya.

"Kamu kost di mana? Ini sekarang mau ke mana?" lanjutnya.

"Indekost di Jalan Banten Dalam, Kak! Ini rencana mau ke perpustakaan mengerjakan tugas!" jawabku.

"Oh, bagus. Kita searah. Mau kutemani?" tanyanya.

Sebelum aku menjawab, dia melanjutkan, "Apa ada yang marah jika kutemani?"

Aku hanya menggeleng, tetapi jujur merasa kikuk juga ada orang yang menjejeri seperti ini. Aku juga merasa kurang bebas. Biasanya dengan leluasa aku berjalan sendiri dengan kecepatan sesuai seleraku, kini harus menyesuaikan diri dengan langkah kakinya.

Sampai di perpustakaan, seperti biasanya aku segera ke lokasi kartu katalog. Saat itu belum menggunakan sistem canggih seperti sekarang. Masih menggunakan cara manual. Tidak ada komputer yang digunakan untuk mengakses buku yang dibutuhkan secara cepat seperti sekarang. Harus mencari satu demi satu dengan teliti dan pelan sekali, lalu mencatatnya di selembar kertas yang sudah disediakan. Barulah kita menyodorkan kertas catatan tersebut kepada petugas agar petugas mencarikannya. Jika sudah bisa mencari sendiri, biasanya petugas mempersilakan kita mencari dan mengambil buku tersebut secara mandiri di rak sesuai kode buku masing-masing.

Setelah menemukan buku yang kubutuhkan, aku segera mencari tempat yang menurutku paling nyaman. Aku lupa kalau tadi ada yang menemaniku. Maka, tiba-tiba dia berbisik di telingaku sambil menunjukkan tempat untuk berdua di tempat lain. Anehnya, aku menurut saja apa katanya.

Setelah duduk berdua, bersisian, dia menunjukkan bagaimana cara merangkum buku referensi yang disarankan oleh dosen. Dia membawa catatan yang ditulisnya dengan rapi. Kepadaku ditunjukkan bahwa catatan yang rapi itu mempermudah seorang mahasiswa manakala dia sedang melakukan penulisan tugas akhir.

Ditunjukkannya pula bahwa catatannya itu ditulisnya sejak tiga tahun silam. Dia memperoleh ilmu itu dari kakaknya yang sekarang sedang melanjutkan kuliah program pascasarjana di kota lain. Dengan catatan rapi, mengikuti kuliah secara disiplin, tidak banyak berbicara saat kuliah berlangsung, dikatakan itu menuju jalan sukses. Sukses yang pertama, nilai indeks prestasi kumulatifnya lumayan bagus sehingga bisa memperoleh beasiswa. Sukses selanjutnya, seperti tadi dikatakannya, sangat membantu dalam penulisan tugas akhir atau sekadar paper yang diminta dosen.

"Kamu seorang gadis. Mestinya, tulisanmu lebih rapi daripada kami yang lelaki. Nah, cobalah contoh tulisanku ini!" katanya.

Aku pun mengeluarkan catatanku. Dia terheran-heran melihat bukuku yang hanya satu, lalu menanyakan mengapa aku menggunakan buku campuran, hanya satu buku yang dibawa kuliah.

"Iya, nanti di tempat kost saya salin, Kak. Saya tipe kinestetik sehingga harus menulis ulang agar bisa meresap ke dalam memori ingatan saya. Di rumah kos saya memiliki buku masing-masing mata kuliah. Ini saya lakukan juga agar tidak dipinjam kawan karena saya sadar, kawan pun suatu saat bisa menjadi lawan kita! Jadi, dengan buku campuran begini, tidak seorang pun bisa meminjamnya!"

"Wuahhh, ... oke banget. Kamu hebat juga, ya Dik! Siapa yang mengajarimu begitu?" tanyanya sambil manggut-manggut.

"Berdasarkan pengalaman, Kak! Saya bersaing dengan teman-teman untuk mempertahankan predikat bintang kelas paralel!" kataku malu-malu.

"Adik sudah punya pacar, ya?" pertanyaan ini kujawab dengan gelengan kepala.

"Kata ayah selama kuliah nggak boleh pacaran dulu, Kak!"

"Ohh, ... begitu! Kalau untuk menyemangati masak tidak boleh, sih?" tanyanya mengernyitkan alis.

Aku hanya tersenyum.

"Apa ada mata kuliah yang kamu rasa sulit?" tanyanya mengalihkan topik pembicaraan.

"Ada, Kak. Sintaksis dan morfologi!"

"Ohh, mengapa kamu merasa sulit? Materinya atau dosennya?"

"Dua-duanya, Kak!"

"Ok, keduanya mata kuliah kesukaan Kakak. Jika kamu mau, akan Kakak ajarkan agar kamu memahaminya. Kita bisa belajar di sini setiap saat kalau kamu tidak kuliah. Kakak sudah tidak ada mata kuliah lagi. kamu maukah?" tanyanya.

"Mau banget, Kak!" 

Itulah pertemuan pertamaku dengannya. Dengan seseorang yang sengaja kutinggalkan begitu saja setelah mendengar berita mengagetkan itu!

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun