Siang terik sudah meninggalkan persada. Kini mentari  merambat ke arah barat daya. Hampir tergelincir malahan. Senja pun segera tiba.
Panorama di cafe itu kian merona. Swastamita jingga di ufuk barat daya mulai pamer pesona. Pelan dan pasti, senja itu Mita kembali memarkir kendaraan mungilnya. Â Untuk kesekian kalinya.Â
Di area parkir cukup luas itu sudah berjajar beberapa kendaraan. Lagi-lagi Mita memilih tempat yang sama. Di bawah redup lampu taman, dekat rumpun pandan. Seolah tempat itu milik pribadinya.Â
Diayunkan kaki melangkah perlahan menuju sudut caf, tempat favoritnya. Selalu di tempat yang sama. Di bagian ujung timur berdekatan dengan aquarium dinding. Aquarium tempel di sebelah kiri itu menyajikan aneka ikan hias. Â Akan tetapi, perhatian Mita bukan pada aquarium itu, melainkan pada panorama bahari nun di hadapannya.
Mita duduk sendiri seperti biasa. Dipandanginya laut yang membentang agak jauh di depan dengan tatapan kosong.
Dipesan pula secangkir capucino seperti biasa. Pramusaji telah paham apa  maunya. Mata Mita tak lepas dari laut. Ya, laut!Â
Tidak berselang lama, seseorang menghampirinya.
"Mit, sudah lama?" sebuah suara bariton membuyarkan lamunannya.
"Hmm ...," dengusnya.
"Boleh aku duduk?" Mita hanya mengangguk tanpa mempersilakannya duduk.
Hening beberapa saat. Debur ombak terdengar cukup jelas menjadi melodi harmoni musik senja.
Mita melambai ke  arah pramusaji memesan satu cangkir capucino lagi.
"Yang lain apa?" tanya Mita menoleh kepada Brian.Â
"Kentang goreng atau apa yang cocok untuk kudapan sore," jawabnya. Pramusaji berlalu dengan santun.Â
Mereka berdua larut pada musik alami. Debur ombak bersahutan di depan sana. Sambil menikmati sunset berlatar belakang swastamita jingga tentu saja.
"Aku tahu, tidak mudah bagimu. Namun, sampai kapan kau akan begini?" suara khas itu kembali mengusik Mita.
Mita hanya menggeleng. Matanya tak lepas dari laut nun jauh di sana.Â
 "Aku tahu, bahkan sangat yakin. Kau pasti kuat dan tegar. Kuharap kau bisa melupakannya!" ujar Brian. Sementara Mita masih tetap tidak bergeming. Pandangannya nanar ke  arah laut. Laut yang menyakitinya. Laut yang membuatnya kecewa. Laut yang telah mengoyak hatinya. Laut yang ingin didampratnya, tetapi ia tak bisa melakukan apa-apa. Air mata pun bercucuran kian deras dari netranya.
"Mit, mestinya kau bangga. Adrian pergi karena menjadi duta pertiwi. Ikhlaskanlah kepergiannya dengan cara elegan. Lalu, bukalah hatimu untuk masa depan!"
Netra Mita yang berurai air mata menatapnya sendu. Digelengkannya kepalanya pelan.
Lalu, disesapnya capucino hangat tanpa bicara apa-apa.
 "Hentikan aksimu ini, Mita. Hentikan. Jangan lagi setiap senja kau larikan duka laramu ke sini. Justru ini makin menyiksamu. Jangan lagi kau lihat laut, tetapi lihatlah purnama di malam pekat. Jika Tuhan memanggil Adrian saat bertugas, pastilah Tuhan punya rencana indah buatnya. Tentu indah buatmu juga!" Brian mencoba meraih tangan kanan Mita.
 Mita hanya diam. Ditatapnya Brian dengan sendu.
 "Lupakan. Justru dengan melupakan dan mengikhlaskan, kamu akan menolong Adrian menghadap Tuhan dengan sempurna. Jangan menjadi penghalang baginya. Biarkan dia bahagia berjumpa Tuhan. Jangan recoki dia!"
Mita berusaha menyembunyikan isaknya, tetapi tidak mampu. Akhirnya pecah juga tangis itu. Brian menggeser kursi lebih dekat dan memeluk bahunya.Â
"Aku ada di sini bersamamu, Mit. Aku janji. Aku akan selalu ada untukmu!" Brian mengemukakan dengan penuh perasaan.Â
"Ayo, buang kesedihanmu pada senja. Buang dendammu pada laut. Mari kita berjalan menuju masa depan!"Â
Sedu sedan Mita masih terdengar samar, sementara senja kian menua. Kini senja  merangkak menuju kelam malam. Beruntung, malam itu bulan tengah bersiap mengganti peran matahari. Bulan siaga di ufuk timur seolah bola emas keluar dari singgasana. Ya, purnama segera menggantikan gulita. Â
Brian membawa Mita ke luar dari caf untuk menikmati cahaya purnama. Dipeluk pinggang ramping itu berjalan menuju suatu tempat untuk melihat purnama.Â
Ya, Mita yang semula dijuluki gadis senja oleh para pramusaji itu telah bermetamorfosis. Gadis jelita menyongsong purnama bersama secangkir capucino. Itu julukan baru untuk Mita.
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H