"Hentikan aksimu ini, Mita. Hentikan. Jangan lagi setiap senja kau larikan duka laramu ke sini. Justru ini makin menyiksamu. Jangan lagi kau lihat laut, tetapi lihatlah purnama di malam pekat. Jika Tuhan memanggil Adrian saat bertugas, pastilah Tuhan punya rencana indah buatnya. Tentu indah buatmu juga!" Brian mencoba meraih tangan kanan Mita.
 Mita hanya diam. Ditatapnya Brian dengan sendu.
 "Lupakan. Justru dengan melupakan dan mengikhlaskan, kamu akan menolong Adrian menghadap Tuhan dengan sempurna. Jangan menjadi penghalang baginya. Biarkan dia bahagia berjumpa Tuhan. Jangan recoki dia!"
Mita berusaha menyembunyikan isaknya, tetapi tidak mampu. Akhirnya pecah juga tangis itu. Brian menggeser kursi lebih dekat dan memeluk bahunya.Â
"Aku ada di sini bersamamu, Mit. Aku janji. Aku akan selalu ada untukmu!" Brian mengemukakan dengan penuh perasaan.Â
"Ayo, buang kesedihanmu pada senja. Buang dendammu pada laut. Mari kita berjalan menuju masa depan!"Â
Sedu sedan Mita masih terdengar samar, sementara senja kian menua. Kini senja  merangkak menuju kelam malam. Beruntung, malam itu bulan tengah bersiap mengganti peran matahari. Bulan siaga di ufuk timur seolah bola emas keluar dari singgasana. Ya, purnama segera menggantikan gulita. Â
Brian membawa Mita ke luar dari caf untuk menikmati cahaya purnama. Dipeluk pinggang ramping itu berjalan menuju suatu tempat untuk melihat purnama.Â
Ya, Mita yang semula dijuluki gadis senja oleh para pramusaji itu telah bermetamorfosis. Gadis jelita menyongsong purnama bersama secangkir capucino. Itu julukan baru untuk Mita.
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H