Hening beberapa saat. Debur ombak terdengar cukup jelas menjadi melodi harmoni musik senja.
Mita melambai ke  arah pramusaji memesan satu cangkir capucino lagi.
"Yang lain apa?" tanya Mita menoleh kepada Brian.Â
"Kentang goreng atau apa yang cocok untuk kudapan sore," jawabnya. Pramusaji berlalu dengan santun.Â
Mereka berdua larut pada musik alami. Debur ombak bersahutan di depan sana. Sambil menikmati sunset berlatar belakang swastamita jingga tentu saja.
"Aku tahu, tidak mudah bagimu. Namun, sampai kapan kau akan begini?" suara khas itu kembali mengusik Mita.
Mita hanya menggeleng. Matanya tak lepas dari laut nun jauh di sana.Â
 "Aku tahu, bahkan sangat yakin. Kau pasti kuat dan tegar. Kuharap kau bisa melupakannya!" ujar Brian. Sementara Mita masih tetap tidak bergeming. Pandangannya nanar ke  arah laut. Laut yang menyakitinya. Laut yang membuatnya kecewa. Laut yang telah mengoyak hatinya. Laut yang ingin didampratnya, tetapi ia tak bisa melakukan apa-apa. Air mata pun bercucuran kian deras dari netranya.
"Mit, mestinya kau bangga. Adrian pergi karena menjadi duta pertiwi. Ikhlaskanlah kepergiannya dengan cara elegan. Lalu, bukalah hatimu untuk masa depan!"
Netra Mita yang berurai air mata menatapnya sendu. Digelengkannya kepalanya pelan.
Lalu, disesapnya capucino hangat tanpa bicara apa-apa.