Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - belajar mengingat dan menulis apa yang diingat

Menulis dengan sukacita sebab hati yang gembira adalah obat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sesosok Menyebalkan

27 April 2024   15:51 Diperbarui: 27 April 2024   15:54 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sesosok Menyebalkan 

Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

"Yuk, cari kelereng yang tertinggal," ajakku kepada Bima sore itu.

Tak terasa begitu asyik berburu kelereng, hari makin senja. Tiba-tiba sosok itu kembali datang. Seperti biasa, beliau berhenti sejenak dan terlalu mengurusi kami. Melarang kami bermain ketika malam tiba. Itu sungguh menyebalkan!

"Cepat pulang, segera salat!" instruksinya.

Seperti  biasa, kami hanya mengatakan, "Iya" atau "Baik!"  tentu saja tanpa beranjak pergi! Paling leletan lidah yang kami hadiahkan begitu tinggal tampak punggungnya yang makin menjauh.

"Ihh, tanggung. Sebentar lagilah!" bisik Bima.

"Pulang! Belajar!" tegasnya sekali lagi.

Ya, sosok berambut uban itu kembali menuju tempat kami jongkok. Menyebalkan!

"Ada memedi? Basi, kami nggak takut!" ledek Bima sambil melelet.

"Kami sekeluarga nggak salat!" dalihku.

Beberapa alasan kami lontarkan membuat beliau meninggalkan kami sambil ber- uhhh saja. Ya, meskipun cerewet beliau tidak pernah menggunakan tangan untuk menyakiti kami. Kalau menghardik dan melotot sih sudah kebiasaan. Maka, kami sering menyebut dan menjuluki sebagai sosok menyebalkan! 

Agak sedikit malam, Bi Ijah memintaku mengantar camilan buat Bapak-bapak di Pos Jaga, di ujung kompleks.

"Ya, beliau memang tidak mau membuka rahasia masa lalu. Katanya, suatu saat pasti masyarakat akan tahu!" ujar salah satu petugas yang di situ.

"Siapa yang jadi bahan gosip, nih! Bapak-bapak pun suka bergosip loh kalau sedang ngeronda!" batinku.

"Konon beliau orang besar, tetapi tidak mau menyombongkan diri," ujar Pak Burhan menimpali.

"Oh, begitu. Kabarnya putranya berhasil, tetapi kok nggak pernah berkunjung kemari, ya?"  tambah Pak Hamid.

"Ya, begitulah. Kesibukan mengalahkan segalanya. Bakti kepada orang tua terlupakan karena kesibukan!" urai salah seorang yang lain.

Sayang sekali, Bi Ijah mengajak pergi, aku pun tidak bisa mengikuti obrolan mereka.

Kami malam nanti berencana hendak bermain bersama.

"Kita harus buyar sebelum magrib!" kata Sulaiman.

"Kan masih bulan purnama?" timpalku.

"Tidak mau disembur Pak Untung!" sembur Ijon.

"Ya, sudah nanti kita atur. Kalau dia lewat, kita ngumpet hingga nggak ada yang berkeliaran!" usulku.

Kami siap dengan berbagai alat perang-perangan. Ada senjata mainan, bisa pedang-pedangan, pistol-pistolan, atau sebangsanya. Wuahhh, membayangkan saja terasa luar biasa.

"Jangan lupa kita pakai topi daun nangka!" pesan Kamal.

"Bagus juga kalau muka kita dicoreng-moreng layaknya tentara latihan perang!" usulku.

"Ahahaha ... cocok, pasti makin seru!" sambut Ijon.

Sore  itu banyak tetangga yang terburu-buru mendatangai rumah Pak Untung yang berada di ujung kompleks. Bahkan, ada yang melarang kami bermain.

"Apa hubungannya?" tanya Sarman.

"Ayooo buyaaarrr! Jangan bermain! Pulang semua!" hardik seorang security.

"Yang suka nyembur tak datang, kini dihalau Satpam!" teriak Ubay.

 Terdengar pengumuman dari masjid seseorang telah meninggal dunia dan akan segera dimakamkan malam hari ini juga. Kami antusias mengapa pemakaman dilaksanakan malam hari sehingga berinisiatif untuk ikut menghadiri.

Kami sepakat. Malam itu permainan ditunda. Kami menghadiri pemakaman. Meskipun malam hari masyarakat berbondong-bondong mengantar jenazah. Hal ini membuat anak-anak penasaran. Dalam rangkaian acara tersebut terungkap rahasia hebat hingga menyeletuk spontan.

"Wahhh, ternyata beliau seorang pahlawan!" seruku, "Ah, kita salah menjulukinya 'sosok menyebalkan'!" imbuhku.

"Pantas beliau tidak menyukai kami keluyuran dan kelayapan di malam hari!" tambah Sulaiman dengan mata membulat.

Benar-benar kejutan di malam purnama. Kami yang selama ini menganggap beliau orang tua yang suka ikut campur dan melarang-larang kami bermain, ternyata sosok pahlawan pengusir penjajah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun