Aku terhenyak dengan pertanyaan tersebut dan kujawab dengan gelengan kepala. Tak urung tubuhku pun limbung.
"Mengapa selama ini Mas Bram tidak pernah memberitahu aku, ya?" pikirku. Sementara Mas Bram masih berada di luar negeri. Â Gawainya tidak diaktifkan beberapa lama. Alasannya kena biaya roaming. Aku pun menahan diri untuk tidak menanyakan masalah keyakinan.
Meski gawai dalam kondisi mati, aku tetap menuliskan cerita saat berada di rumahnya. Sepupu yang menanyakan masalah keyakinan tersebut kugarisbawahi. Beberapa hari kemudian, ketika gawai diaktifkan, pesanku dibalasnya.
"Maafkan kami, Nin. Memang demikian keadaannya. Kukira, semula kita bisa melaluinya bersama. Ternyata pada akhirnya kita terbentur juga pada masalah ini. Lalu, bagaimana denganmu? Apakah siap mengikuti keyakinanku?"
Aku berkesempatan menceritakan bahwa papa mama menghendaki Mas Bram mengikuti keyakinan kami. Lalu, dibalasnya.
"Jika demikian, kita harus mengakhiri hubungan kita sebelum segala sesuatunya menjadi runyam. Senyampang masih muda, tolong carilah pendamping yang seiman denganmu, Sayang. Mohon dimaafkan, aku tidak bisa mengikuti anjuran papa mamamu untuk berpindah keyakinan. Maafkan aku, ya! Kudoakan semoga kau memperoleh pendamping yang sempurna dari Tuhan. Selamat tinggal, Sayang. Aku akan tetap mengingatmu sebagai cinta pertamaku! Bye!"
Setelah itu nomornya tidak bisa lagi kuhubungi. Mungkin sudah ganti. Entahlah. Tak ada lagi niatanku untuk datang ke rumah orang tuanya. Tak  mau pula aku menambah luka hati ini.
***
Masih kulanjutkan tugas coas-ku di puskesmas kabupaten. Belum selesai  tugas itu, salah seorang teman baik mengabarkan bahwa Mas Bram menikah dengan pilihan orang tuanya. Ya, sudahlah.  Kutepiskan rasa yang ada, berusaha menerima segala sesuatu dengan tangan terbuka. Mungkin ini jalan yang dikehendaki-Nya untuk kulalui. Maka, berusahalah aku sekuat tenaga untuk melupakan dan tidak memikirkan lagi.
"Kamu harus ikhlas!" Senandikaku sambil kulihat bayangan di cermin. Kutatap mata pada bayangan itu dengan tersenyum tipis.Â
Waktu berjalan dengan cepat. Kesibukan demi kesibukan menyita waktu sehingga ingatan kepadanya kian memudar. Tibalah suatu waktu manakala harus mengantar pasien gawat darurat ke rumah sakit tipe A. Dengan jasa ambulans rumah sakit, kuantar pasien tanpa berpikir untuk membawa kendaraan pribadiku. Beruntung  seorang kawan baik berkenan mengantar setelah kuhubungi lewat gawai.