Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Penulis novel: Damar Derana, Tresna Kulasentana, Centini, Gelang Giok, Si Bocil Tengil, Anyelir, Cerita Cinta Cendana, Rahim buat Suamimu, dll. Buku tunggal 29 judul, antologi berbagai genre 169 judul.

Masih terus-menerus belajar: menulis, menulis, dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pura-pura Lupa

30 Maret 2024   09:34 Diperbarui: 30 Maret 2024   09:37 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pura-pura Lupa 

Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

"Dik, aku sayang banget padamu ... tapi ...," bisiknya tertahan.

"Ya, aku tahu. Aku memang tak layak menjadi pendampingmu!" sahutku agak kesal.

"Maafkan aku ya ...," pandang netranya menembus jantung dan aku hanya bisa mengangguk pelan.

Sejak pertemuan terakhir itu aku harus tahu diri. Aku harus mundur teratur sebab dia tidak memperjuangkanku di hadapan keluarganya. Apa boleh buat. Biarlah aku mengalah. Kalau berurusan dengan masalah orang tua, jujur ... aku tidak punya pilihan lain, selain harus merelakan dan melupakannya. 

"Aku tahu, Mas. Cinta saja memang tidak cukup untuk bisa hidup bersama dalam mahligai rumah tangga. Biarlah aku mengalah membawa hatiku yang terbelah. Biarlah kuniatkan menjalani kelanjutan hidupku tanpamu seperti dahulu sebelum mengenalmu!" senandikaku sambil melangkah menuju tempat indekos. Meninggalkan Mas Yus yang masih belum beranjak dari bangku taman kampus selatan yang mulai temaram. Senja telah turun sementara lampu belum dinyalakan petugas.

Sambil melangkah gontai, otak ini berputar-putar ke masa silam. Sementara, warna jingga swastamita yang tadi begitu memesona mulai memburam, kelabu menuju hitam. Satu dua lampu rumah di jalanan kecil yang kususuri baru dinyalakan sebab senja mulai menghitam. Kelam pun mulai turun.

Mungkin ini karma setelah aku memutuskan meninggalkan seseorang yang sudah sangat berbaik hati kepadaku semenjak pertunangan sepihak dua tahun silam. Ya, sejak usiaku masih tujuh belas tahun, aku sudah dipertunangkan dengan sahabat baik guru biologiku di sekolah lanjutan atas.

Pertemuanku dengan Mas Kun, seseorang yang dipertunangkan denganku, saat aku membantu tim dekorasi janur untuk membuat kuade pernikahan salah seorang guruku.  Mas Kun, teman baik guruku tersebut. Dia  jatuh cinta kepadaku dan langsung mengutarakan niatnya untuk melamarku tak lama setelah acara pernikahan guruku selesai. Gerak cepat. Sementara, kakek nenek pengasuhku menyetujui karena alasan biaya hidup dan biaya pendidikanku. Mereka sama sekali tidak menanyakan bagaimana perasaanku. 

Mungkin saja penolakan kedua orang tua Mas Yus itu karmaku. Akan tetapi, sejujurnya memang pertunangan dengan Mas Kun itu bukanlah atas kemauanku. Pertunangan terpaksa, tepatnya. Aku memang tidak mencintai dan menginginkan pertunangan itu. Maka, ketika aku tidak diizinkan melanjutkan kuliah sebagaimana kesepakatan sebelumnya, tentu saja aku gendro, melawan arus untuk membatalkan pertunangan tersebut. Sebenarnya bukan membatalkan, melainkan tepatnya meminta menunda pernikahan karena berbagai alasan. Satu di antaranya aku ingin melanjutkan kuliah, selain memang belum bisa memasak.

Nah, kalau kini aku merasa tertolak oleh keluarga Mas Yus, impaslah sudah. Ketika aku tidak mencintai seseorang yang tulus mencintaiku, aku menginginkan berpisah. Kini, ketika aku mencintai seseorang setengah mati, ternyata aku pun harus merelakan berpisah dengannya. Impas, bukan?

Namun, ternyata kelenjar air mata ini tidak bisa kuajak berkompromi. Kelenjar itu menumpahkan semua perbendaharaan air sehingga merembes tak terbendung melalui pipi mulusku dengan derasnya. Mengakibatkan penglihatanku makin memburam.

Beginilah bentuk karma itu! Tentu aku tidak dapat menyalahkan begitu saja perasaan hati ini. Cinta yang sedang tidak bersahabat denganku. Cinta yang harus kurelakan terlepas. Persis seperti cinta pertama saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama. Yah, dewa cinta yang tidak pernah berpihak kepadaku.

Cinta pertamaku memang berakhir dengan pilu. Cinta monyet yang  berlangsung beberapa tahun itu akhirnya pupus ketika si dia meninggalkanku. Si dia menikahi gadis yang berada di kota lain, tempatnya menimba ilmu.

Ya, karena terpaut setahun di atasku, saat aku naik ke kelas tiga SMP, Mas Wid cinta monyetku itu melanjutkan ke SPMA di Kota Madiun. Komunikasi dengan surat-menyurat berjalan lancar setahun pertama, dan mulai menyurut saat-saat selanjutnya. Ketika pulang ke kotaku, masih dua tiga kali dia sempat datang ke rumah. Namun, selanjutnya justru berita pernikahannyalah yang kudengar dari sahabat dekat yang mengetahui kabar dan memiliki foto pernikahan tersebut.

Ternyata, kini untuk kedua kalinya aku harus merelakan kepergian seseorang yang kucintai dan kusayangi sepenuh hati. Kalau pada pengalaman cinta remaja masa sebelumnya, aku bisa melewati masa-masa kegagalan cinta, kini pasti aku pun bisa. Biarlah untuk kesekian kalinya aku merasakan kegagalan dalam percintaan.

Cinta pertama dan berlanjut ke cinta remajaku sungguh berakhir dengan pilu. Namun, hidup masih harus terus berlanjut. Aku harus bisa melupakannya. Harus bisa move on!

Mulailah kulalui lembaran hidup ini tanpa tambatan hati. Aku mulai berfokus pada perkuliahan. Pagi hingga siang kuliah, pada jadwal tertentu mengajar di salah sebuah sekolah swasta, kadang membantu teman yang bekerja sebagai pramuniaga salah sebuah restoran yang melegenda. Di saat senggang lain mencoba mengambil sulaman atau kruistik sebagai perintang waktu sekaligus mencari tambahan uang saku. Satu hobi yang tidak bisa kutinggalkan adalah mengikuti komunitas menulis, khususnya puisi. Walaupun tidak lagi berlama-lama seperti ketika masih memiliki hubungan spesial dengan Mas Yus. Apalagi kalau acara diadakan pada malam hari. Yang jelas sebelum pukul sembilan malam aku harus izin cabut lebih dulu.

***

Hari demi hari berlari dengan begitu cepat sehingga tiada terasa sudah sekitar empat bulan berlalu. Saat aku sudah mulai terbiasa dengan hidup sendiri, tanpa direcoki kehadiran Mas Yus baik di tempat indekos maupun di kampus lagi, prestasiku kian melejit. Ada beberapa event cipta dan baca puisi yang menjadi kegemaranku dan dari sana aku berhasil menyabet kesuksesan demi kesuksesan. Perlahan, tetapi pasti rasa sakit yang mendera pun mulai pudar. 

Pulang kuliah aku bersegera menghambur keluar, memisahkan diri dari teman-teman. Ada kalanya aku melarikan diri ke lantai dua, ke perpustakaan pusat  untuk sekadar mencari referensi tugas dosen. Atau segera ke rumah Bu Yonas yang mempekerjakan banyak wanita untuk membantu menyulam sarung bantal sebagai handmade andalan.  Sungguh, alur hidup yang berubah drastis sehingga luput dari penglihatan dan kicauan teman kampus.

Dengan aktivitas baru tersebut, lumayan dapat kutepis ingatan kebersamaan dengan Mas Yus. Kalau biasanya pulang dari kampus kami masih bersama, entah mengerjakan tugas kampus atau sekadar membeli jajanan di sekitaran kampus, kini tidak lagi kami bertemu apalagi bersama-sama.

Pernah kudengar selentingan Mas Yus sedang mengikuti entah program KKN atau Menwa di pantai selatan, tetapi kabar burung tersebut tidak lagi berpengaruh bagi kehidupanku. Aku sudah mulai beradaptasi dengan aktivitas baru, kehidupan happy  jomlo. Ada sih ... satu dua teman yang menanyakan juga mengapa tidak tampak berduaan. Akan  tetapi, aku tidak menanggapinya secara serius.

Aku masih berusaha menjadi gadis ceria seperti sebelum-sebelumnya. Hanya, tingkat kecerewetanku saja yang mulai sangat berkurang. Demikian juga dengan kualitas kebersamaan dengan teman-teman sesama gadis. Aku membatasi diri bukan tanpa sebab. Memang kusengaja agar tidak tampak perih hati ini di mata orang lain.

"Hai, Nin ... sedang sibuk apa sekarang? Kok tidak pernah berdua lagi? Sedang gencatan senjata, ya?" tanya Mbak Pungki sambil menyejajarkan langkahnya dengan langkahku.

"Eh, ... bukan gencatan senjata, melainkan larangan dari keluarganya!" senyum tipisku sambil berpamitan untuk mendahului.

"Oo ...," kagetnya dengan mimik polos cukup lucu.

"Ups," aku membekap mulut sendiri, "duh ... keceplosan, deh!" sambil berlari kecil kutinggalkan Mbak Pungki yang masih berdiri di tepian jalan. 

 

***

Sore itu, aku bermaksud refreshing dengan melanjutkan sulaman di teras indekos. Tiba-tiba Mbak Etik, kakak angkatanku, lewat depan rumah. Melihatku sedang berkegiatan, dia singgah untuk melihat aktivitasku.

"Wahhh, ... aku mau dong Dik diajari bikin kruistik begini!" kagumnya.

"Gampang kok, Mbak. Mbak beli saja dulu bahannya untuk berlatih, ya. Yang  dari plastik saja dulu. Nanti kalau sudah mahir bisa mengambil pekerjaan di Bu Yonas!" saranku.

"Mau, Dik! Di mana beli bahannya?"

"Ada Mbak di toko tertentu di Pecinan!"

"Anter aku ya Dik, please!"

Hari itu juga, atas rengekan Mbak Etik aku pun mengantar membeli perlengkapan sulam kruistik dengan mengendarai motor teman. Hal ini kulakukan untuk mempermudah transportasi karena untuk menuju pertokoan tersebut harus mengendarai dua jalur angkot.  Harus ganti jalur dua jenis rute angkot yang berbeda. Ribet, 'kan?

Entahlah, aku tak tahu alasan mengapa Mbak Etik tiba-tiba  saja ingin diajari sulam kruistik, padahal dia tidak sedang kesulitan ekonomi sepertiku. Kalau aku, melakukan aktivitas positif ini memang bertujuan untuk menambah uang saku yang tidak kuperoleh dari kakek nenek. Jangankan uang saku, uang bulanan indekos saja Senin Kamis. Masih beruntung jika ayah kandung yang kebetulan sekota denganku itu memberi dana segar. Namun, karena beliau pun hanya pensiunan veteran, aku tidak berharap banyak dari ayah.

Akhirnya mengajari sekitar semingguan Mbak Etik sudah lancar dan langsung bisa mengambil pekerjaan di Bu Yonas. Sebagai pemula, Mbak Etik memperoleh bagian mengeblok satu warna saja, tidak mengikuti pola berbagai warna benang sepertiku. Tampak sekali Mbak Etik menikmati hobi barunya. Aku pun ikut bahagia. Ternyata, bahagia itu tidak harus memiliki hubungan spesial dengan lawan jenis. Membuat sahabat bahagia pun berimbas kepada kita.

***

Sabtu sore itu aku tidak sedang mengerjakan kruistik, tetapi mencoba beralih ke sulam pita di teras depan. Ketika sedang mencocokkan antara pajanan teori di buku yang kubeli dengan kain, pita, dan benang warna senada, tiba-tiba Mas Yus datang ke indekosku. Dibawakannya aku keripik jagung gepeng kesukaan. Tentulah kaget sekali aku karena sudah hampir satu semester tidak berjumpa dengannya. 

"Boleh aku duduk, Dik?" sapanya tersenyum tipis.

Aku masih tidak percaya dengan penglihatanku. Penampilannya jauh berbeda! Kulit hitamnya kian pekat, cambang dan berewok begitu lebat, seperti tentara berbulan-bulan berada di hutan. Rambutnya memang tidak segondrong beberapa bulan silam. Cenderung dipotong cepak semimiliter. Lumayan gagah, sih!

Dulu semasih denganku, akulah yang selalu cerewet dan bahkan membelikan guilet pencukur yang disukainya sehingga pipi tirus itu selalu tampak bersih dan perlente. Itulah mengapa aku sangat mencintainya. Selain sabar, berpenampilan kalem, tentu saja handsome! Daya pikat yang memabukkan para gadis!

Rupanya Mas Yus merasakan kekakuanku.

"Hai, Dik. Apa kabar?" sapanya lembut.

"Ba-baik ...."

"Sudah lama, ya ... kita tidak bersama-sama," ajuknya.

Aku hanya mengangguk perlahan.

"Aku ingin ... meski kita tidak bersama lagi, jangan ada di antara kita dendam atau pahit hati. Bagaimana pun kita tetap masih bersahabat, 'kan?" ditatapnya manik netraku dengan tatapan teduh.

Tatapan yang sedari dulu selalu berhasil memorakporandakan pertahananku.

"Aku tidak akan pernah bisa melupakanmu. Namun, sauh tak mampu berlabuh di dermaga hatimu karena badai menghantam bidukku! Aku harus terseok menerima keputusan keluarga. Kuharap Adik bersedia memaafkan dan melupakan kebodohanku!" dipegang dan dielusnya punggung tangan kananku yang gemetaran.

"Wahai, ... tak tahukah kamu Mas bahwa hatiku yang telah pecah berkeping-keping ini menjadi makin lumat mendengar penuturan lembutmu?" keluh hatiku.

Tak urung, netraku pun mengembun dan tetes embun itu diusap dengan jemari jempolnya begitu perlahan sambil mengembuskan napas panjang.

Sementara, nada dering gawaiku tetiba nyaring berbunyi. Sepenggal lagu Petrus Mahendra mengalun sahdu ....

Jangan datang lagi cinta
Bagaimana aku bisa lupa


Padahal kau tahu keadaannya
Kau bukanlah untukku

 

 

Segera kutarik tanganku dari pegangan Mas Yus. Aku berusaha menghapus air mata yang menganak sungai dan menghentikan tangis yang kian mendera. Kuambil gawai, sayang panggilan dari nomor tidak kukenal pun berhenti.

"Sudah ada yang barukah, Dik? Maksudku ... penggantiku," tanyanya menyelidik.

"Ya, Allah ... teganya kamu Mas," keluhku dalam hati.

Namun, lidahku kelu. Hanya kutatap manik netranya tanpa bicara.

"Ehm, ... aku berharap semoga sepeninggalku Adik selalu bahagia! Nah, kalau tidak merespons dan hanya menangis, baiklah aku pulang saja!" pamitnya sambil beranjak meninggalkan kursi.

Sementara, aku masih mematung.

"Sudah, Mas? Yuk, cepetan! Dik Nina ... kami pergi dulu, ya! Ada acara inaugurasi di kampus," tetiba Mbak Etik datang tergopoh-gopoh ke indekosku.

Dia datang tanpa kuundang tepat pada situasi kacau sehingga cukup mengagetkan.

Dengan busana rapi dan elegan, rambut sepinggang tergerai indah, diteriakkan panggilan untuk Mas Yus. Bertepatan dengan pamitnya yang belum sempat kujawab.

Sejenak kemudian, Mbak Etik segera menggamit lengan kiri Mas Yus. Mereka berdua pergi meninggalkan halaman indekos yang bertabur tabebuya pink. Keduanya bergandengan tangan meninggalkanku yang masih mematung dengan sejuta tanda tanya.

Tinggal punggungnya saja yang tampak melintasi kelokan gang. Sementara, tangan Mbak Etik yang bergelendot manja di pundak Mas Yus masih bermain di ruang netra. Kembali ringtone lagu Mahendra mengudara ... terdengar kembali sayup penggal lagu itu mengisi ruang dengar mengaduk-aduk relung hatiku. Arrggghhh, ....

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun