si cantik berbulu putih dan sedikit sapuan warna keabu-abuan pada bagian ekornya itu, seperti pencuri. Sambil bercengkrama mereka mulai menjarah buah pala milik penduduk.
Di sore hari saat orang-orang bergegas untuk kembali ke pulau itu, mereka pun bergegas pula, berbeondong-bondong kembali membentuk formasi, berdemonstrasi lagi di atas kepala warga pesisir.
Orang-orang pulang usai berbelanja, si Cantik Punting dan rombongnnya pun pulang usai mengisi perutnya.
Mardiah seolah mendengar ada bisik-bisik antar sesama Kum-kum alias Puntieng. Mardiah mencoba masuk ke dalam alam satwa itu. "Hai... kumpul...ayoo, kumpul! Lihat tuh! Bapak-bapak sama Ibu-ibu sudah pada mau pulang... pulang yuuk!" Itu pasti seruan si Emak Puntieng. Bathin Mardiah bergolak.
Lalu Puntieng yang lain berseru. Itu yang bertubuh gempal dan yang paling suka mengganggu. Yang kepalanya bak penari Bali. Matanya larak-lirik. Itu kayaknya ketua rombongannya deh!
Tuh... kan? Dia sedang berucap. "Ya, jangan sampai kita lolos dari kepulangan para Ibu-Bapak itu! Soalnya aku mau mengawasi si Ibu yang suka mencengkram itu!" Mereka seolah tahu waktunya pulang, pikir Mardiah lagi.
Ia terkenang akan penjelasan dari ibu, istri dari sahabat suaminya. Oleh masyarakat, biji yang utuh tadi dibiarkan beberapa hari usai dikeluarkannya lewat duburnya. Sudah pasti, semakin hari semakin bertambah biji-biji itu.
Di bawah terik matahari serta hujan, biji-biji itu bertambah hingga menggunung. Kum-kum alias Puntieng, dengan bergerombol atau sendiri-sendiri membuang hajatnya. Yang lucu ada kapling-kaplingnya.
Setelah beberapa hari, barulah oleh penduduk dikumpulkan. Biji pala yang sudah melalui proses unik itu, segera diringkus paksa oleh penduduk.
Mereka mengeksekusi biji-biji pala yang sudah menggunung itu ke dalam kantong-kantong masing-masing untuk di bawa pulang. Sebut saja panen.