Sungguhpun demikian, selalu ada syukur dari setiap kejadian. Dia masih sedikit beruntung karena tidak hidup sebatang kara. Yah, dia tinggal bersama kakak kandungnya yang seorang guru, mungkin hal inilah menjadi suatu kebaikan bagi keluarganya.
Meski demikian, keprihatinan tetap akan nampak menyayat hati ketika kamu berkunjung ke rumah Azhar. Betapa tidak, seorang Azhar yang notabennya sebagai adik kandung dari seorang  guru dari keluarga berada, punya keterikatan darah, tetapi justru mendapat perlakuan kurang manusawi. Yah, itulah pernyataan yang paling tepat untuk menggambarkan keadaan tersebut, dikucilkan bagai mahluk tak berguna.Â
Pria berkulit hitam tersebut harus dikucilkan di keluarganya sendiri. Meskipun berada satu atap dengan kerabat, tetapi tersisih dan terisolasi pada ruangan dengan dinding pembatas, tanpa akses untuk masuk ke dalam rumah inti. Hal inipun menjadi perhatian sendiri bagiku.Â
Tega! Itulah kata pertama yang terbesit di benakku. Rupanya hal itu bukan tanpa sebab. Semuanya bermula karena perubahan sikap Azhar yang dianggap "lain" .Â
Melihat ketidak beruntungan tersebut membuatku mengorek lebih jauh tentangnya, sosok Azhar.
Rupanya hal ini tak jauh dari masalah asmara, dari suatu kegagalan, kecewa, dan kehilangan. Dia sempat ingin menikah 12 tahun yang lalu, bahkan hampir menikah. Kendatipun rencana tersebut harus kandas lantaran calon istrinya pergi meninggalkanya H-5 menjelang pernikahan. Ini tentu menjadi suatu pukulan baginya. Bukan hanya rasa kecewa dan kehilangan, melainkan harus menanggung malu pada sanak kerabat dan handai taulan.Â
Bagaimana tidak, calon istrinnya pergi lantaran tidak terima dengan profesi beliau yang hanya sebagai guru honorer di salah satu instansi. Yah pak Azhar adalah guru, tepatnya sebagai guru bahasa Inggris sebelum kejadian pilu itu terjadi.Â
Rencana pernikahanpun tak lepas dari pesona keluarga Azhar yang bisa dikatakan terpandang di kalangan masyarakat desa. Ayahnya merupakan eks. pegawai di salah satu instansi perrtanian, bahkan kakeknya merupakan mantan lurah di daerah tersebut. Selepas pendahulunya berpulang, dia memperoleh harta tinggalan. Yah, Azhar dan saudaranya memperoleh warisan.Â
Mendapat warisan rupanya bukan satu-satunya kebanggaan bagi calon istrinya untuk melangsungkan rumah tangga. Sebaliknya, calon istri Azhar lebih berorientasi ke depan, realistis. Bahwa pernikahan tidak cukup hanya mengandalkan warisan, karena nantinya Azharlah yang akan menjadi tulang punggung kehidupannya. Sedangkan bagi si calon istri, penghasilan Azhar tidak seberapa untuk mencukupinya, ituah yang membuatnya pergi. Matreallistis! Barangkali itu kata yang terlontar dari keluarganya pasca kegagalan pernikahan itu.
Gagal menikah rupanya membuat kehidupan Azhar berupah drastis. Bagaimana tidak, semenjak kejadian itu dia menjadi sedikit depresi. Bahkan dari penuturan tetangganya dia pernah mencoba bertapa hingga akhirnya pulang ke rumah dan menjadi seperti saat ini, aneh, dan susah ditebak.
Perubahannya memang nyata dirasakan, sekalipun demikian bukan seharusnya lantas dia harus dikucilkan. Tetapi itulah kenyataannya, miris! ketika mendapati keluarga terdekatnya pun turut mengucilkannya. Bukan suatu ancaman, toh dia juga seperti manusia lainnya, bernteraksi, bekerja, pun memerlukan kebutuhan hidup. Hanya saja semenjak kejadian itu dia lebih sensitif jika membahas tentang pernikahan.