“Wik, meski kamu sudah tidak muda lagi, kamu masih cantik seperti dulu, bahkan makin cantik”. Kata mas Gilang sembari tersenyum.
Aku tersipu, pipiku terasa panas mendengar pujian mas Gilang yang sudah hampir enam tahun hidup sendiri dengan tiga orang putri yang cantik-cantik. Sungguh hari ini terasa lebih cepat dari biasanya. Akhirnya kami meninggalkan resto Mie Ayam Kalasan, setelah mas Gilang membayar tagihan di kasir. Udara yang tadi terasa panas kini menjadi teduh, seteduh hati kami berdua.
“Wik, tak inginkah kau memberi kesempatan kedua pada Aditya?’.
Aku menarik nafas panjang, ku buang jauh tatapan mataku ke langit. Ku sembunyikan mataku yang mulai berembun di balik kaca mata hitamku. “Jangan kau jawab Wik, kalau membuatmu luka”. Mas Gilang memegang pundakku, ku palingkan wajahku dari mas Gilang, aku hanya ingin kesedihan ini menjadi milikku.
“Mas. Aku sudah hampir enam tahun bertahan, rasanya sudah tak mampu lagi”. Akhirnya keberanianku muncul menjawab pertanyaan mas Gilang
“Kau nyakin dengan keputusanmu?’
“Iya Mas”. Lirih jawabku. “Meski ia menolak gugatanku”.
“Bapak ibumu bagaimana?”. Mas Gilang menghentikan langkahnya, terpaksa aku pun ikut berhenti.
“Beliau menyerahkan keputusan terbaik padaku”.
“Lalu, anak-anakmu bagaimana?”
“ Yang besar tak sepakat ayah bundanya berpisah, tapi yang kecil tak masalah”. Aku mundur selangkah, mencoba duduk di halte yang kebetulan sepi. Mas Gilang mengikutinya.