Mohon tunggu...
Ning Ayu
Ning Ayu Mohon Tunggu... Guru - Pengawas SMP Kabupaten Bogor

Ning Ayu alias Taty Rahayu, Pengawas SMP Kabupaten Bogor

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jodohku

26 April 2020   21:07 Diperbarui: 26 April 2020   21:11 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Gilang diam, Ia tak berani menatapku, seperti ada sesuatu yang disembunyikan dariku. Bicaranya pun hanya yang penting saja, setelah itu diam. Dua minggu terakhir pun,  pesan-pesan  yang ku kirim lewat  whatsapp tak langsung direspon padahal sedang on. Bila ku tanya jawabnya singkat, “Aku sangat sibuk Wik”. Aku pun tak berani memaksa, tapi jujur aku selalu mencari jawabannya sendiri. Apakah ada yang salah denganku?. Adakah perbuatan dan kata-kataku ada yang menyakiti hatinya?. Pernah suatu kali kutanyakan pada Gilang, dan Ia selalu menjawab dengan  singkat, cukup satu atau dua kata. "tidak". Tulisnya.

Sore itu, kemacetan terjadi di halaman kantorku. Pemandangan yang selalu menghiasi hari-hari jam pulang kantor. Bising knalpot terus berlomba, suara mesin berbagai merk kendaraan besi  pun tak mau kalah. Terkadang terdengar suara umpatan sesama supir angkot yang berebut penumpang dan tak sabar mengantri.  Aku pun harus sabar untuk ke luar pintu gerbang kantor.

Hapeku bergetar,  pesan whatsapp masuk di ponselku. Ku buka. Pesan singkat dari Gilang, “ Wik,  ku tunggu di bakmi Gajah Mada ya”. Aku pun membalasnya cukup dengan kata “ya”. Akhirnya kami bisa bertemu, setelah sekian lama Gilang selalu menghindar atau mungkin benar-benar sibuk dengan dunia kerjanya. Ia memesan dua porsi Mie goreng rasa jamur. Menu kesukaanku juga mas Gilang. Tak banyak yang diobrolkan antara aku dan mas Gilang, selebihnya diam. Sebelum pulang aku bisikan kata mesra padanya “Mas, aku kangen”. Mas Gilang hanya tersenyum dan berucap “Hati-hati di jalan”. Sejak itu aku pun tak pernah lagi bertemu. Nomor  ponselnya pun tak aktif lagi. Rupanya, itu pertemuan terakhirku dengan mas Gilang. Rasa sesak di dada waktu itu, membayangi tiap langkahku, tapi aku harus ikhlas, mungkin mas Gilang bukan jodohku.

******

Bertahun-tahun, aku tak pernah mendengar berita mas Gilang, seolah-olah mas Gilang lenyap ditelan bumi. Komunikasi di antara kami total terputus. Aku pun mulai bisa melupakan mas Gilang. Sejak itu, aku memutuskan merantau. Kaliurang tempatku lahir, ku tinggalkan. Jejak kenangan mesra dan indah bersama mas Gilang pun harus ku kubur. Cericit burung penyrak yang selalu menjadi saksi bisu pertemuan aku dan mas Gilang pun tak lagi terdengar. Tetes embun yang kerap singgah di wajahku tak  pernah lagi dihapus mas Gilang. Aku harus memulai menghapus satu persatu kenangan terindah bersama mas Gilang. Aku pun harus menutup nama mas Gilang untuk memberi tempat pada lelaki lain. Lelaki yang akhirnya memberikan buah hati untukku. Lelaki pilihan bapak yang dijodohkan untukku dan aku hanya manut saja.

 Bapak selalu berkata padaku untuk melupakan mas Gilang. “Nduk, sampai kapan kamu akan tetap menunggu Gilang, sampai jadi perawan tua”. Begitu bapak selalu berkata padaku. Waktu itu,  aku hanya diam menunduk dan menahan nafas. Aku tak berani menjawab apa lagi membantah perintah Bapak. Sebab bila itu dilakukan berarti aku tak punya hormat lagi pada orang tua. Akhirnya aku menikah dengan lelaki pilihan Bapak, meski tak ada cinta dalam hatiku.  Lelaki anak jurangan beras teman Bapak akhirnya meminangku. Tak ada cinta dihati, tapi kodratnya anak  perempuan harus mituhu kepada orang tua.

*****

Sembilan belas tahun telah berlalu, sejak terakhir aku dan mas Gilang makan di bakmi Gajah Mada di Malioboro pada suatu sore. Aku dipertemukan kembali dengan mas Gilang di sebuah resto di plaza Senayan. Pertemuan yang tak disengaja, atau mungkin Tuhan yang mengaturnya?. Entahlah, aku menganggapnya hanya sebuah kebetulan.

 Waktu itu aku sedang menikmati lezatnya Mie Ayam Kalasan. Seorang lelaki tegap menghampiriku dan menyapaku. “Assalamualaikum Wik”. Aku hanya diam, mataku menatap lelaki tegap di sampingku. Ku amati dengan cermat wajahnya, lekuk pipinya, sorot matanya dan semua itu membawaku pada sosok mas Gilang. “Waalaikumsalam, Kau mas Gilang?” Aku berdiri menyambut uluran tangannya. Ia tersenyum dan mengangguk. Kami kemudian duduk dan mengobrol renyah tentang hidup juga tentang cerita masa lalu, dan kini aku benar-benar tahu mengapa mas Gilang menutup dan mengunci hatinya untukku.

“Maafkan aku waktu itu Wik”. Mas Gilang mulai membuka cerita masa lalunya. Aku dengarkan setiap kata yang ke luar dari bibir mungil mas Gilang. “Aku tak pernah ingin membuatmu luka, tapi waktu begitu cepat dan aku ingin berbakti untuk terakhir kalinya pada ibu”.  Mas Gilang menarik nafas panjang, matanya menatap masa sembilan belas tahun silam. Sesekali bibirnya tersenyum. Aku terus mendengarkan cerita mas Gilang dengan hati sedikit cemburu.

“Ibu, menjodohkan aku dengan seorang paramedis yang merawat ibuku”. Mas Gilang diam, seolah mengumpulkan kembali ingatannya. “Aku tak bisa menolaknya Wik. Aku ingin di sisa umur ibuku, ia bahagia”. Mas Gilam kembali diam, lalu dihapusnya keringat di keningnya. “Setelah menikah, aku menetap di Surabaya”. Lanjut mas Gilang. Ku teguk just jambu untuk menutupi perasaannku, sesekali ku mencuri pandang melalui sudut mataku. “Ia masih gagah seperti dulu”, batinku.

“Lalu, kau menikahi perempuan pilihan ibu dan membiarkan aku menunggu tanpa berita?”. Mas Gilang tak mampu menjawab. Ia tahu bagaimana terlukanya aku waktu itu, tapi waktu tak bisa diputar ulang. Mas Gilang menghentikan makannya dan matanya tajam menatapku.

“Ku dengar kamu juga menikah dengan lelaki pilihan bapakmu?”. Mas Gilang mencoba menghentikan kisah masa lalunya. Pertanyaan mas Gilang sempat membuatku terperanjat. Hiruk pikuk dan lalu lalang tamu yang keluar masuk tak menganggu obrolan kami. Suhu udara ber-AC di ruangan tempat kami makan pun berubah menjadi panas.  Bisa jadi karena hati kami berdua yang mendidih. Aku tersenyum, mas Gilang pun demikaian.

“Ya, hampir sama dengan dirimu”. Jawabku sambil meneguk just Jambu.

“Kau pasti bahagia”. Mas Gilang terus menatapku hingga aku sedikit grogi. Entahlah aku seperti kembali pada masa Sembilan belas tahun silam.

“Pernikahanku tak semulus jalan tol”. Jawabku

“Maksudmu?”

“Aku mengajukan gugutan pisah  terhadap mas Aditya”.

“Mengapa Wik?’. Tanpa sadar mas Gilang mengenggam tanganku.

“Mungkin jodohku dengan mas Adit hanya sampai di sini. Kau sendiri mengapa masih betah menduda?”.

“Putriku, belum mau ada pengganti ibunya”. Jawabnya lirih hampir tak terdengar.

“Tapi kau butuh pendamping untuk teman hidup mas?”.  Nada suaraku sedikit naik, enam tahun mas Gilang hidup tanpa pendamping sejak istrinya meninggal. Hal ini bukan waktu yang singkat. Mas Gilang telah begitu sabar dan setia dengan mendiang isrtinya.  Kami sama-sama diam. Hati kami sibuk  dengan perasaan masing-masing.

 “Wik, meski kamu sudah tidak muda lagi, kamu masih cantik seperti dulu, bahkan makin cantik”. Kata mas Gilang sembari tersenyum.

Aku tersipu, pipiku terasa panas mendengar pujian mas Gilang yang sudah hampir enam tahun hidup sendiri dengan tiga orang putri yang cantik-cantik.  Sungguh hari ini terasa lebih cepat dari biasanya. Akhirnya kami meninggalkan  resto Mie Ayam Kalasan, setelah mas Gilang membayar  tagihan di kasir. Udara yang tadi terasa panas kini menjadi teduh,  seteduh hati kami berdua.

“Wik, tak inginkah kau memberi kesempatan kedua pada Aditya?’.

Aku menarik nafas panjang, ku buang jauh tatapan mataku ke langit. Ku sembunyikan mataku yang mulai berembun di balik kaca mata hitamku. “Jangan kau jawab Wik, kalau membuatmu luka”. Mas Gilang memegang pundakku, ku palingkan wajahku dari mas Gilang, aku hanya ingin kesedihan ini menjadi milikku.

“Mas. Aku sudah hampir enam tahun bertahan, rasanya sudah tak mampu lagi”. Akhirnya keberanianku muncul menjawab pertanyaan mas Gilang

“Kau nyakin dengan keputusanmu?’

“Iya Mas”. Lirih jawabku. “Meski ia menolak gugatanku”.

“Bapak ibumu bagaimana?”. Mas Gilang menghentikan langkahnya, terpaksa aku pun ikut berhenti.

“Beliau menyerahkan keputusan terbaik padaku”.

“Lalu, anak-anakmu bagaimana?”

“ Yang besar tak sepakat ayah bundanya berpisah, tapi yang kecil tak masalah”. Aku mundur selangkah, mencoba duduk di halte yang kebetulan sepi. Mas Gilang mengikutinya.

“Tak seorang wanita pun ingin berpisah dalam kehidupannya, tapi bila perpisahan ini adalah jalan terbaik agar kedua pihak tidak saling tersakiti maka harus diikhlaskan. Ku harap mas Aditya bisa menerima ini”.

“Hidup memeng hanya sebuah permainan dari sang Dalang, dan dalang kehidupan ini adalah Tuhan, maka kau harus bersabar Wik”.  Mas Gilang mencoba  memberiku kekuatan.

Langit tiba-tiba mendung, angin kencang datang berbarengan dengan hujan turun. Tansjakarta yang ditunggu belum juga lewat, tak biasanya se-lama ini.  Hujan semakin kencang, sesekali suara petir mengagetkan aku. Jalanan mulai digenangi air. Beberapa anak kecil menjajakan payung sewaan. Aku diam, begitu pun dengan mas Gilang. Akhirnya Transjakarta yang ku tunggu lewat. Aku menaiki tangga bus, sementara mas Gilang terus menatapku hingga akhirnya tatapan matanya tak bisa lagi ku lihat.

Selama perjalanan, ku coba memejamkan mata, tapi selalu gagal. Bayangan kepahitan yang diciptakan mas Aditya membuat hatiku terkoyak. Pertengkaran demi pertengakaran yang mewarnai hidupku terekam kembali, dan aku hanya bisa menanggis.

Lamunanku terhenti manakala ponsenku bergetar. Ku lihat pada notifikasi layar ponselku. Pesan whatsapp dari mas Gilang. Ku buka. Pesan yang cukup panjang. “Sejak kapan mas Gilang pandai merangkai kalimat? “. Kataku dalam hati. Lalu ku baca kata demi kata pesan mas Gilang yang terkirim. “Wik, kamu sudah berjuang sekian lama, dengan segala jerih payahnya, kalau dihitung capek, sudah sangat lelah, ending belum tahu…Tapi harapan tetap harus diyakini dan harus diperjuangkan, Insya Alloh ini jalan ikhtiar yang diridhoi, Amin”.  Ku tarik dalam-dalam nafasku, ku coba menahan air mataku yang hampir jatuh, lalu aku melanjutkan membacanya kembali. “Alloh akan mendengar dan mengqobul doa hambanya yang berserah diri. Wik, aku ingin jujur padamu, kalau aku mulai takut kehilangan kamu..………”. Bibirku rapat tak mampu berkata-kata, hanya hatiku yang berbicara. “Kau mencintaiku mas…..”.  Transjakarta yang membawaku terus melaju persis debaran jantungku setelah membaca pesan whatsapp mas Gilang. Aku pun kembali memejamkan mata, meminta pengadilan tentang kehidupan  melalui doa-doaku pada sang Pencita. “Tuhan, apa yang menurutMu terbaik, aku ikhlas menerimanya”.

********

15 April 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun