Mendadak Bastian menghentikan langkahnya. Aku jadi ikut berhenti, khawatir bastian marah karena aku mencandainya dukun.
“Laras, kau tahu mengapa aku selalu ingin melindungimu?“, Bastian menatap mataku dalam-dalam.
Aku menggeleng, lalu menunduk. Aku tahu sebetulnya, tapi aku tak mau tahu dan tak ingin sekalipun memberi pintu untuk Bastian.
“Karena aku mencintaimu“, ucapnya tegas sambil ditatapnya mataku.
Aku hanya diam dan menghela nafas. Membuang pandanganku ke samping.
“Aku belum siap dicintai, aku ingin berkonsentrasi terhadap cita-citaku”, suaraku mantap sekaligus balik memandang mata Bastian.
Entah kekuatan darimana, aku menjawab lugas dan tegas akan tawaran manis Bastian.
Bastian menghela nafas berat lalu melemparkan senyum tulusnya.
“Baiklah, kau benar Laras. Hari-hari kita masih panjang. Ada satu setengah tahun lagi yang harus kita lalui agar gelar dokter resmi di tangan kita. Kau benar“, Bastian tersenyum.
Kami berpisah menaiki angkutan yang berbeda. Bastian melambaikan tangan dan tersenyum ceria. Hati-hati teriaknya sebelum lenyap di tikungan.
Senja menapaki lereng langit. Binar jingga berpendar, mengantar burung-burung pulang ke sarangnya. Esok, lusa dan seterusnya aku mungkin harus berjuang melupakanmu.