Mohon tunggu...
Ning Ayu
Ning Ayu Mohon Tunggu... Guru - Pengawas SMP Kabupaten Bogor

Ning Ayu alias Taty Rahayu, Pengawas SMP Kabupaten Bogor

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Sketsa Cinta Biru

1 Maret 2017   16:51 Diperbarui: 2 Maret 2017   02:00 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Bagian 1. Lintang Di Langit Batu (selesai)

Hari–hari berikutnya menjadi hari yang selalu menyenangkan namun demikian aku mampu menata emosi. Terbayang di sudut mataku raut muka suamiku dan kedua jagoan gantengku.

Seiring dengan bertambahnya usia yang tak lagi muda, aku merasakan segala sesuatu yang ada padaku, berubah sedikit demi sedikit. Aku menyadari kalau diriku adalah orang yang keras dan teguh pada prinsip tapi tak mudah menyerah.

Begitu pun saat aku memutuskan untuk hijrah dari Jogjakarta ke Jakarta, tanpa seijin orang tua aku ikut seleksi Sipenmaru dan masuk Fakultas Kedokteran di Perguruan Tinggi Negeri ternama di Ibukota untuk mengejar impian dan cita-citaku menjadi Dokter. Padahal waktu itu statusku masih tercatat sebagai mahasiswa semester 2 Jurusan Teknik Sipil di Universitas Veteran Jogjakarta. Bayangan tekad keinginan menjadi mahasiswa kedokteran di perguruan tinggi negeri adalah impian yang tak pernah surut di hatiku, dan aku ternyata mampu membuktikan tekadku.

Sejak itu … aku pun harus rela meninggalkan Kota Gudeg dan hal itu tak sempat ku wartakan pada Tito. Setidaknya, aku tak pernah mampu menolak takdir akan ketetapan hidup yang telah digariskan oleh Tuhan untukku.

“Hayo, jam istirahat sudah habis kita kembali ke ruangan”, ajakan bu Ririn menyadarkan diriku.

“Ibu saja duluan, nanti aku menyusul” jawabku sambil menyembunyikan air mataku yang mulai meleleh kembali.

Belum sempat aku beranjak, bunyi ponsel merajutkan hatiku, ku raih ponselku, kemudian kubaca SMS dari Tito, singkat “telah kusiapkan tempat duduk untukmu di sampingku”

“Sepuluh menit lagi aku sampai ruangan” begitu jawaban singkat SMS-ku.

Dengan gerak cepat kurapikan bajuku, dengan sedikit riasan tipisku memantaskan diri di depan cermin, hati kembali bergemuruh, entahlah….namun aku tetap tegak melangkah memasuki ruang Seminar.

“Ini kursi untukku?’ suaraku lirih menyapanya.

“iya, kau tak suka?”

Aku tersenyum dan hanya tersenyum, tapi entahlah…mengapa aku jadi salah tingkah.

“Laras, kenalkan ini Hendro temanku” katanya sambil menunjuk ke arah temannya.

“Hen…ini Laras temanku yang kucari-cari sampai ke kolong-kolong tapi tak pernah kutemukan”

Aku tersipu, sedikit malu, “Laras,” kataku sambil menjulurkan tangan ke arah Hendro..

“Mbak Laras ngumpetnya pinter yach?, sampai-sampai Tito tak dapat menemukannya”. Tanyanya sambil berusaha melucu memecahkan kebekuan.

“Bukan tak dapat menemukannya, tapi tak punya nyali untuk menemukanku” jawabku tanpa beban dengan sedikit tersenyum.

“Padahal Ia tahu aku tinggal di mana, mengapa tak berani datang? Jadi aku tak yakin mas Tito mencariku”

“Benar mbak, Tito hanya besar badannya, tapi  keberaniannya kecil”

“iyo, iyo terus lah mengolok diriku, aku bukan tak berani, tapi aku merasa kecil di depanmu”, kata Tito sambil melirik ke arahku.

“Bercanda To, ojo nesu” lanjut Hendro seketika karena pipi Tito mulai memerah.

Tito tak menjawabnya, hanya matanya yang menatap pada Hendra, memberi isyarat agar diam. Sesekali matanya menatapku sehingga membuatku salah tingkah karena diperhatikan olehnya. Materi yang disampaikan oleh narasumber tak sepenuhnya dapat kuserap, hingga akhirnya materi selesai, dan sepertinya waktu berjalan sangat cepat. Satu persatu peserta meninggalkan ruangan, namun aku dan Tito masih belum juga beranjak dari duduknya.

“Laras, setelah makan malam ku tunggu kau di Lobi ya? Aku ingin berbagi cerita denganmu dan aku juga ingin mendengar tentang ceritamu”, katanya sambil memegang bahuku dan berdiri dari duduknya.

“Ok, jawabku singkat.

“Laras, kau pasti tak pernah mengingatku atau mungkin sudah lupa padaku?”

“Kau yakin dengan kata-katamu?’ jawabku sambil beranjak dari tempat dudukku dan berdiri disampingnya.

“Menurutmu?”

“Kau mungkin tak percaya, kalau aku waktu itu sangat menunggu, ku coba berkirim surat padamu, tapi tak ada balasan darimu”.

“Saat ke Jogya aku anjangsana ke ibu kostmu mas, dan kutanyakan dirimu. Namun katanya kau sudah pindah kost”.

“Mengapa kau tak mencariku di kampus?, dan surat itu tak pernah kuterima” sahutnya membela luapan perasaannya yang terluka.

“Sudah, aku mencarimu ke kampus, bahkan ku titipkan alamat rumahku. Kutunggu tak jua kau datang atau mungkin itu takdir kita? Dan setelah 27 tahun ternyata Allah mempertemukan kita, meski dalam orbit yang berbeda.

Kami diam, Ia memegang bahuku, “maafkan aku Laras, aku tak pernah punya keberanian untuk menjemputmu, karena tak ada yang bisa dibanggakan dariku”

Aku tak mampu menjawabnya, bahkan menatap wajahnya pun aku tak punya keberanian, air mata kembali membasahi pipiku, samar kucoba menyembunyikan darinya.

“Aku yang salah, karena aku meninggalkanmu tanpa pesan, maafkan diriku mas”, tapi sungguh aku tak pernah mampu melupakanmu. Butuh waktu yang sangat panjang mengeluarkan dirimu dari lipatan hatiku, kau selalu mendapat tempat di ujung jantungku, hingga akhirnya aku menyerah kalah.

“Sampai hari ini?’ ia memotong kalimatku

“Cerita itu hadir kembali kini, seharusnya aku mampu memadamkan baranya Mas?’

“Kau menyesal bertemu denganku?

Aku hanya mampu menggeleng, diam….”Kau sendiri bagaimana?’ akhirnya keluar juga kalimat itu dari mulutku.

“Kau pasti tahu jawabnya Laras, bila aku melupakanmu tak mungkin foto-foto tentang kita masih kusimpan sampai hari ini”.

“Ini adalah hari yang bersejarah Laras, setidaknya aku tak penasaran lagi, sebab aku sudah menemukanmu. Aku bangga dan senang melihatmu, terlebih kau sekarang menjadi wanita yang muslimah, hidup berkecukupan dan punya penerus keturunan”.

“Hidup seseorang tak hanya dilihat dari potretnya Mas…” satu hal yang harus kita hindari jangan pernah menjadi manusia yang rakus karena ingin sempurna.

“Kau mungkin melihat hidupku sangat sempurna, begitu pun aku melihat hidupmu, meski sampai hari ini kau belum memiliki penerus dinastimu, tapi hidup tak boleh berhenti mas, dan kita tahu itu”.

“Maaf mas, jangan tersinggung” Aku menghentikan ucapanku yang meluncur deras dari bibir mungilku sambil  sejenak merapikan buku-buku diktat yang hampir jatuh tersentuh seorang peserta yang menggeser duduknya di sampingku.

“Kau masih seperti dulu Laras……manis.!”

“Kau juga, tetap sebagai sosok lelaki penyabar, tambah keren lagi…..heeee perutnya yang keren, tambah ‘ndut” he he he.. kami tertawa berdua.

Kami berdua tertawa lebar. “Benar ….kata Tito, bila hari ini adalah hari bersejarah,” Ku kira kau sudah jadi Mumi Mas…”  lanjutku sambil merapikan blaptop dan diktat-diktak pelatihan. Ok, kita ketemu di lobi malam ini yach…Ia hanya menggangguk dan tersenyum. Senyuman yang sudah sangat lama, lama sekali……

***

Udara kota Batu Malang terasa dingin malam itu, kerlip lampu di sekitar areal hotel bagai kunang-kunang yang menari. Aku duduk di sudut lobi depan agar tetap mampu memandang ruas jalan Batu. Ku tatap langit jingga yang bersih bersinar karena temaram sinar Bulan Purnama, dan hanya ada satu bintang berlawanan orbit dengan bulan, saling diam dan pamer cahaya unjuk berebut simpati. Aku serasa terbangun dari tidurku. Aku tak sadar angin kota ini membawaku pada mimpi, mimpi pada cerita masa lalu yang seperti tak bertepi.

“Maaf, aku telah membuatmu lama menunggu”, suaranya parau hampir tak terdengar.

          “Tak apa,” jawabku singkat sambil terus menatap langit berhias sinar bulan dan kerlip bintang.

          “Aku ke dokter dulu” sayup kudengar suara mas Tito sangat lirih hampir tak terdengar.

          “Kau lupa ya? Kan aku seorang Dokter Mas?”. “Yuk sebentar kita ke lobby dulu saja, biar aku periksa di sana”. Kemudian ku periksa dan ku beri persediaan obat yang ada selalu di dalam tas kerjaku.  

          “Ahhh kau sakit Mas??” aku membalikan tubuh dan mendekati dirinya, ku sentuh dahinya sedikit panas. Dan setelah ku periksa, nampak ada sedikit peradangan pada tenggorokannya.

          “Kembali saja ke kamarmu, kau harus istirahat, kita masih dua hari lagi di sini, jangan kuatir kalah tender. Ku pastikan rumah sakit tempatku bekerja akan memesan dan mengorder alat-alat kesehatan dari perusahaanmu, untuk itu  kau harus sehat, kegiatan besok cukup padat”. Ku coba menutupi rasa kuatirku.

          “Sudah….sudah, tidak mengapa, sudah sedikit enak ko, hanya sedikit  sakit leherku untuk bicara, maaf ya…aku jadi malu padamu”

          “Tak ada orang yang ingin sakit mas, untuk itu kau harus istirahat, tenggorokannmu kena radang mas, dan banyaklah minum air hangat ya??” jawabku sedikit kuatir.” Jadi mengapa harus malu?” lanjutku.

          “Laras, sejak kau pergi meninggalkan Jogya aku terus mencari informasi tentang dirimu, ku tanyakan pada Sampurno kemana kau pergi, Ia juga tak tahu. Sampurno hanya memberikan gambaran denah rumahmu, kerdilnya aku….tak punya keberanian untuk datang “ suaranya serak menahan sakit.

Aku hanya mampu diam menatap wajahnya yang terlihat pucat, tapi ia selalu berusaha tersenyum menyembunyikan rasa sakitnya. Semilir angin menambah dinginnya suasana hati. Kemukus lintang di langit jingga menemani kegelisahan hati dari rasa bersalah, haru, bahkan bahagia…? Entahlah, aku tak mampu melukiskan dengan keindahan puisiku sekalipun.

          “Aku pun hampir saja berhenti dari kuliah, tak kusangka aku mampu menyelesaikannya, setidaknya aku mampu membuat kedua orang tuaku bangga, kondisiku yang seperti itulah membuatku selalu menyurutkan langkah untuk datang menemuimu, tapi…percayalah Laras, kau selau mendapat tempat di sini”. Mas Tito menyatukan tangannya di dada.

“Mas, ….aku bukanlah wanita yang memandang harta sebagai tujuan akhir dari hidup, kau tahu itu”.

Sayup – sayup ku dengar lirik lagu dari Bunga Citra Lestari yang berjudul Saat Kau Pergi, seakan ikut berkisah tentang perjalananku yang berpacu dengan waktu.

“Akhirnya ku putuskan pergi ke Jakarta dengan harapan bisa bertemu denganmu Laras, hingga aku akhirnya menyerah, dan foto ini selalu menjadi pelepas kangenku”. Aku sendiri tak tahu, mengapa saat aku akan berangkat ke sini ingin sekali kubawa serta fotomu, ternyata Tuhan mempertemukan aku denganmu”

“Maafkan diriku mas, karena egoku aku pergi tanpa pesan untukmu”. Tak kuasa aku menahan butiran bening di sudut mataku yang lagi-lagi terjatuh.

“Tidak Laras, pertemuan ini cukup membuatku bahagia bahkan teramat bahagia, setidaknya aku tak penasaran lagi”. Kedua tangan Tito disilangkan ke dadanya, agar hawa dingin sedikit terkurangi, riak-riak batuk tertahan ditenggorokannya, ku coba menyentuh dahinya dengan perlahan, demamnya semakin tinggi.

“Istirahatlah dulu mas, aku tak ingin demammu semakin tinggi, hayolah…” sedikit aku memaksa dirinya.

“Aku malu padamu Laras, penantian panjang selama 27 tahun ini, aku harus sakit, atau karena terlalu bahagia sehingga aku syok, aku menjadi sakit…..ya, sakit karena kangenku yang tertimbun reruntuhan kini tersisir akan parasmu”. Tito berdiri menatapku dalam-dalam sebelum akhirnya beranjak menuju kamarnya.

Malam semakin larut, udara daerah Batu semakin dingin, kutatap langkahnya yang pelan, Kau bagaikan lintang yang hadir dalam hidupku, tapi aku tak mampu berharap apa lagi meraihnya, kita hanyalah sebuah masa lalu, masa lalu yang panjang….bagai lintang di langit sana yang mampu bersinar tapi tak seorang pun menanti untuk meraihnya. Itulah cerita tentang kita, kau tetap sebagi lintang dan aku malamnya, saling berbagi peran, tapi kita sepakat untuk saling menghormati..

Namun ingatanku ke masa lampau nan indah tak jua berhenti mengalir. Terus dan terus hingga malam menghilang menjelang pagi.

Malam lipatkan cerita ….

Sebab waktu tertinggal jauh……….

…………………………ooooo………………………

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun