Mohon tunggu...
Ning Ayu
Ning Ayu Mohon Tunggu... Guru - Pengawas SMP Kabupaten Bogor

Ning Ayu alias Taty Rahayu, Pengawas SMP Kabupaten Bogor

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Sketsa Cinta Biru

1 Maret 2017   16:51 Diperbarui: 2 Maret 2017   02:00 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

          “Sudah….sudah, tidak mengapa, sudah sedikit enak ko, hanya sedikit  sakit leherku untuk bicara, maaf ya…aku jadi malu padamu”

          “Tak ada orang yang ingin sakit mas, untuk itu kau harus istirahat, tenggorokannmu kena radang mas, dan banyaklah minum air hangat ya??” jawabku sedikit kuatir.” Jadi mengapa harus malu?” lanjutku.

          “Laras, sejak kau pergi meninggalkan Jogya aku terus mencari informasi tentang dirimu, ku tanyakan pada Sampurno kemana kau pergi, Ia juga tak tahu. Sampurno hanya memberikan gambaran denah rumahmu, kerdilnya aku….tak punya keberanian untuk datang “ suaranya serak menahan sakit.

Aku hanya mampu diam menatap wajahnya yang terlihat pucat, tapi ia selalu berusaha tersenyum menyembunyikan rasa sakitnya. Semilir angin menambah dinginnya suasana hati. Kemukus lintang di langit jingga menemani kegelisahan hati dari rasa bersalah, haru, bahkan bahagia…? Entahlah, aku tak mampu melukiskan dengan keindahan puisiku sekalipun.

          “Aku pun hampir saja berhenti dari kuliah, tak kusangka aku mampu menyelesaikannya, setidaknya aku mampu membuat kedua orang tuaku bangga, kondisiku yang seperti itulah membuatku selalu menyurutkan langkah untuk datang menemuimu, tapi…percayalah Laras, kau selau mendapat tempat di sini”. Mas Tito menyatukan tangannya di dada.

“Mas, ….aku bukanlah wanita yang memandang harta sebagai tujuan akhir dari hidup, kau tahu itu”.

Sayup – sayup ku dengar lirik lagu dari Bunga Citra Lestari yang berjudul Saat Kau Pergi, seakan ikut berkisah tentang perjalananku yang berpacu dengan waktu.

“Akhirnya ku putuskan pergi ke Jakarta dengan harapan bisa bertemu denganmu Laras, hingga aku akhirnya menyerah, dan foto ini selalu menjadi pelepas kangenku”. Aku sendiri tak tahu, mengapa saat aku akan berangkat ke sini ingin sekali kubawa serta fotomu, ternyata Tuhan mempertemukan aku denganmu”

“Maafkan diriku mas, karena egoku aku pergi tanpa pesan untukmu”. Tak kuasa aku menahan butiran bening di sudut mataku yang lagi-lagi terjatuh.

“Tidak Laras, pertemuan ini cukup membuatku bahagia bahkan teramat bahagia, setidaknya aku tak penasaran lagi”. Kedua tangan Tito disilangkan ke dadanya, agar hawa dingin sedikit terkurangi, riak-riak batuk tertahan ditenggorokannya, ku coba menyentuh dahinya dengan perlahan, demamnya semakin tinggi.

“Istirahatlah dulu mas, aku tak ingin demammu semakin tinggi, hayolah…” sedikit aku memaksa dirinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun