Bagian 1. Lintang Di Langit Batu (selesai)
Hari–hari berikutnya menjadi hari yang selalu menyenangkan namun demikian aku mampu menata emosi. Terbayang di sudut mataku raut muka suamiku dan kedua jagoan gantengku.
Seiring dengan bertambahnya usia yang tak lagi muda, aku merasakan segala sesuatu yang ada padaku, berubah sedikit demi sedikit. Aku menyadari kalau diriku adalah orang yang keras dan teguh pada prinsip tapi tak mudah menyerah.
Begitu pun saat aku memutuskan untuk hijrah dari Jogjakarta ke Jakarta, tanpa seijin orang tua aku ikut seleksi Sipenmaru dan masuk Fakultas Kedokteran di Perguruan Tinggi Negeri ternama di Ibukota untuk mengejar impian dan cita-citaku menjadi Dokter. Padahal waktu itu statusku masih tercatat sebagai mahasiswa semester 2 Jurusan Teknik Sipil di Universitas Veteran Jogjakarta. Bayangan tekad keinginan menjadi mahasiswa kedokteran di perguruan tinggi negeri adalah impian yang tak pernah surut di hatiku, dan aku ternyata mampu membuktikan tekadku.
Sejak itu … aku pun harus rela meninggalkan Kota Gudeg dan hal itu tak sempat ku wartakan pada Tito. Setidaknya, aku tak pernah mampu menolak takdir akan ketetapan hidup yang telah digariskan oleh Tuhan untukku.
“Hayo, jam istirahat sudah habis kita kembali ke ruangan”, ajakan bu Ririn menyadarkan diriku.
“Ibu saja duluan, nanti aku menyusul” jawabku sambil menyembunyikan air mataku yang mulai meleleh kembali.
Belum sempat aku beranjak, bunyi ponsel merajutkan hatiku, ku raih ponselku, kemudian kubaca SMS dari Tito, singkat “telah kusiapkan tempat duduk untukmu di sampingku”
“Sepuluh menit lagi aku sampai ruangan” begitu jawaban singkat SMS-ku.
Dengan gerak cepat kurapikan bajuku, dengan sedikit riasan tipisku memantaskan diri di depan cermin, hati kembali bergemuruh, entahlah….namun aku tetap tegak melangkah memasuki ruang Seminar.
“Ini kursi untukku?’ suaraku lirih menyapanya.