Di lain pihak, Ketua Komite Penghapusan Bahan Bakar Bertimbal (KPBB), Ahmad Safrudin mengingatkan bahwa bahan bakar atau bensin bertimbal sejak 2006 sudah dihapuskan di Indonesia. Tapi penghapusan itu belum cukup untuk mewujudkan "langit biru" tanpa polusi udara.
"Karena saat ini tantangannya berbeda lagi. Yaitu, BBM dengan kadar belerang yang sangat buruk, kadar bensin yang sangat tinggi, kadar aromatik dan lainnya yang masih belum sesuai standar Piagam Dunia tentang Bahan Bakar. Misalnya, mengacu pada standar Piagam Dunia tentang Bahan Bakar, kadar bensin di dalam BBM kita itu maksimum seharusnya hanya satu persen, tapi nyatanya kita masih punya kadar bensin yang lebih dari lima persen. Kemudian kadar belerang (sulfur) yang seharusnya kalau kita mengadopsi standar Euro 4 seperti ditetapkan oleh Kementerian LHK maka seharusnya kadar belerang tidak lebih dari 50 parts per million (ppm). Tapi faktanya, kita belum memenuhi standar-standar itu. Inilah yang menyebabkan buruknya kualitas udara kita," tutur Ahmad.
Dilanjutkannya, setiap kendaraan bermotor punya spek mesin tersendiri dengan BBM tertentu pula. "Artinya, bila standar mesinnya menggunakan BBM berstandar Euro 2, maka BBM-nya juga harus diisi yang bertandar Euro 2. Nah, kalau kini sudah ada kendaraan dengan spek mesin dan BBM yang berstandar Euro 4, maka pemerintah seharusnya menyediakan BBM tersebut. Dalam konteks ini kita menyayangkan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) sepertinya sengaja untuk "menghambat" penerapan BBM berstandar Euro 4 tadi," tukasnya.
Ahmad juga menyentil kebijakan harga BBM. Menurutnya, kebijakan harga ini diatur oleh para pedagang minyak sehingga harga yang ditetapkan terlalu tinggi.Â
"Indonesia ini menjadi tempat pembuangan akhir (dumping ground) BBM kotor dari pasar regional bahan bakar yang notabene di negara lain sudah tidak digunakan. Nah, agar BBM kotor ini bisa masuk ke Indonesia, maka harga BBM yang berstandar sangat baik dijual dengan harga yang sangat tidak masuk akal. Contohnya, Pertamax Turbo yang harganya dibanderol kelewat mahal. Kita mendorong YLKI berperan mendesak perubahan kebijakan harga BBM ini," harap Ahmad. Â Â
Reformasi Jenis dan Struktur Harga BBM
Menanggapi harapan tersebut, Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi menyatakan, siap mendorong agar Pemerintah dan Pertamina mendesain harga BBM yang lebih terjangkau. "Setahu saya, Pertamina sedang memproduksi Pertamax Green yang nantinya bisa lebih ramah lingkungan. Tapi yang kita dorong juga agar BBM yang lebih bagus dijual dengan harga yang lebih terjangkau, dan ini berkaitan dengan anggaran subsidinya yang harus dialihkan. Artinya, seperti kita tahu, Pemerintah masih menggelontorkan subsidi untuk Pertalite secara cukup signifikan yaitu Rp67 triliun. Subsidi ini seharusnya dimigrasikan untuk BBM yang berstandar lebih bagus, bukan kepada jenis BBM yang belum memenuhi standar. Inilah yang kita dorong agar harga BBM-nya lebih rasional. Sekalian subsidi ya seharusnya subsidi kepada BBM yang kualitasnya lebih baik," jawab Tulus sembari mengingatkan perlunya reformasi jenis BBM, struktur tarif atau struktur harga BBM. Â Â
Sedangkan terkait standar pengelolaan PLTU berbasis batubara, Tulus mengatakan, seminimal mungkin harus menghasilkan emisi gas buang yang lebih rendah. "Untuk menuju NZE, tidak bisa tiba-tiba dilakukan pelarangan BBM, atau suntik mati PLTU berbasis batubara. Harus ada masa transisi dengan menggunakan energi transisi yaitu BBM berkualitas baik. Syarat sebuah energi ada tiga, ketersediaan stok, kerjangkauan harga, dan keandalan produk. Lalu, penyediaan angkutan umum massal yang baik di kota-kota besar, sebagai salah satu bentuk transisi dimana meskipun masih menghasilkan emisi gas buang tapi sudah diminimalisir semaksimal mungkin," terangnya.
KLHK Perketat Baku Mutu Emisi