Hari itu adalah hari pertama kami dalam perjalanan study tour ke Jogja, sebuah pengalaman yang sudah lama dinanti oleh seluruh angkatan SMP 2018. Setelah puas berkeliling Candi Borobudur di siang hari, rombongan kami berangkat menuju hotel yang terletak di dekat Malioboro. Kami tiba sekitar pukul 13.00 di sebuah hotel besar yang tampak megah, meski sedikit tua.
Aku dan teman satu kelompokku—Yessi, Andini, Sheila, Diana, dan Diva—bergegas menuju kamar untuk istirahat. Terlalu lelah, kami masuk begitu saja tanpa mengucapkan salam, berharap bisa langsung merebahkan diri.
“Ah, akhirnya bisa istirahat juga setelah dari Malioboro,” ucap Yessi sambil meregangkan badan.
“Iya, kakiku pegal semua setelah naik turun tangga Borobudur,” sahut Diva mengeluh.
“Kita tidur dulu aja, yuk. Nanti sore kan kita mau ke Malioboro lagi,” usulku.
Andini tertawa kecil, “Iya, aku udah nggak sabar jalan-jalan lagi!”
Kami semua pun tertidur, membiarkan rasa lelah mengalahkan kegelisahan kami.
Sekitar jam 15.30, kami mulai bergantian mandi dan bersiap untuk kembali ke Malioboro. Setelah semua siap, kami menuju jalanan ramai di sana, menikmati Jogja dengan segala pesonanya.
“Wah, ramai banget ya di sini. Aku mau beli baju buat oleh-oleh, deh,” kata Sheila bersemangat.
“Ide bagus! Gimana kalau kita beli baju couple berenam buat kenang-kenangan?” usul Diana, penuh antusias.
Aku mengangguk setuju, “Boleh tuh, ayo kita cari!”
Kami berbelanja hingga waktu berlalu tanpa terasa. Saat melihat jam, sudah menunjukkan pukul 21.30. Kami pun memutuskan untuk kembali ke hotel, mengingat besok masih banyak tempat yang ingin kami kunjungi.
Saat tiba di kamar, Diva langsung merebahkan diri di tempat tidur. “Akhirnya bisa rebahan lagi. Capek banget!”
“Aku juga, kalian udah mau tidur?” tanya Yessi.
Aku menjawab, “Belum sih, belum ngantuk juga.”
Waktu pun berjalan, hingga pukul 23.00. Aku membuka grup WhatsApp yang dibuat khusus untuk study tour ini. Tiba-tiba, sebuah pesan muncul dan langsung membuat bulu kudukku berdiri. Salah satu teman sekelas mengirim foto bayangan hitam di depan lift lantai tiga. Bayangan itu tampak tinggi, tidak memiliki wujud jelas, namun terlihat diam seperti sedang mengawasi. Beberapa teman berkomentar, mengira foto itu hanya lelucon atau editan, tapi ada juga yang mulai merasa cemas.
“Teman-teman, kalian udah lihat yang dikirim di grup?” tanyaku pada yang lain.
“Iya, udah. Ih, aku merinding banget,” kata Yessi sambil bergidik.
Andini menimpali, “Aku juga jadi nggak bisa tidur gara-gara itu.”
Aku pun menceritakan tentang foto itu pada Yessi, Andini, Sheila, Diana, dan Diva. Kami mulai merasa gelisah, namun berusaha menepis ketakutan.
Tengah malam, suasana kamar mulai terasa aneh. Sekitar pukul 00.00, kami mendengar suara air mengalir dari kamar mandi, seperti ada yang sedang mandi. Aku dan Andini yang mendengar lebih dulu saling pandang, kaget dan bingung.
“Kamu denger juga, kan?” bisik Andini.
Aku mengangguk. Kami langsung membangunkan yang lain.
“Yessi, kamu denger nggak suara air di kamar mandi?” tanyaku, mencoba menenangkan diri.
Yessi yang setengah sadar mulai mendengar suara itu juga. “Eh, iya, bener. Siapa yang mandi tengah malam gini?”
Diana dan Diva pun mendengar suara itu. Kami memutuskan memberanikan diri melihat ke dalam kamar mandi. Tapi ketika pintu kubuka, kamar mandi itu kosong. Keran tertutup rapat dan lantainya kering. Kami semua semakin merinding, meski suara itu mendadak menghilang, suasana aneh masih menyelimuti kamar kami.
“Ih, di dalam kamar mandi nggak ada orang. Terus tadi siapa yang mandi?” tanya Sheila dengan suara gemetar.
“Gak mungkin kita salah dengar,” gumam Diana.
“Suara airnya jelas banget, kok,” sahut Andini.
Yessi mencoba menenangkan kami, “Udahlah, yuk tidur lagi. Besok pagi kita masih mau ke Parangtritis.”
Kami pun berusaha tidur, meski pikiran tentang suara air tadi terus menghantui.
Sekitar pukul 2 pagi, terdengar suara berderit seperti ada benda yang bergeser. Kami terkejut saat melihat kursi di depan cermin yang awalnya berada di sisi meja, kini berpindah tempat dengan sendirinya.
“Loh, kursi itu kok pindah tempat, sih? Awalnya kan nggak di situ...” bisik Diva, suaranya terdengar ketakutan.
“Iya, kok bisa gini, sih?” tambah Diana.
Kami semua terdiam. Tubuh kami gemetar, bulu kuduk berdiri. Diana berusaha membaca doa, sementara yang lain hanya bisa menahan napas, berharap semua segera berakhir. Malam itu terasa begitu panjang, menjadi malam terpanjang dalam hidupku. Tak satu pun dari kami bisa tidur nyenyak.
Saat fajar mulai menyingsing, ketakutan kami perlahan mereda. Kami segera berkemas dan bersiap untuk check-out dari hotel itu. Kejadian aneh di malam pertama study tour ke Jogja akan selalu membekas dalam ingatan kami. Bayangan hitam di depan lift, suara mandi tanpa sosok, dan kursi yang bergerak sendiri masih menjadi misteri yang tak pernah terjawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H