Aku mengangguk. Kami langsung membangunkan yang lain.
“Yessi, kamu denger nggak suara air di kamar mandi?” tanyaku, mencoba menenangkan diri.
Yessi yang setengah sadar mulai mendengar suara itu juga. “Eh, iya, bener. Siapa yang mandi tengah malam gini?”
Diana dan Diva pun mendengar suara itu. Kami memutuskan memberanikan diri melihat ke dalam kamar mandi. Tapi ketika pintu kubuka, kamar mandi itu kosong. Keran tertutup rapat dan lantainya kering. Kami semua semakin merinding, meski suara itu mendadak menghilang, suasana aneh masih menyelimuti kamar kami.
“Ih, di dalam kamar mandi nggak ada orang. Terus tadi siapa yang mandi?” tanya Sheila dengan suara gemetar.
“Gak mungkin kita salah dengar,” gumam Diana.
“Suara airnya jelas banget, kok,” sahut Andini.
Yessi mencoba menenangkan kami, “Udahlah, yuk tidur lagi. Besok pagi kita masih mau ke Parangtritis.”
Kami pun berusaha tidur, meski pikiran tentang suara air tadi terus menghantui.
Sekitar pukul 2 pagi, terdengar suara berderit seperti ada benda yang bergeser. Kami terkejut saat melihat kursi di depan cermin yang awalnya berada di sisi meja, kini berpindah tempat dengan sendirinya.
“Loh, kursi itu kok pindah tempat, sih? Awalnya kan nggak di situ...” bisik Diva, suaranya terdengar ketakutan.