Mohon tunggu...
Nina Sulistiati
Nina Sulistiati Mohon Tunggu... Guru - Senang menulis, pembelajar, senang berbagi ilmu

Pengajar di SMP N 2 Cibadak Kabupaten Sukabumi.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Cerpen] Wanodya Bergincu Merah

18 Januari 2025   22:44 Diperbarui: 19 Januari 2025   14:46 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.kibrispdr.org/unduh-9/gambar-anime-perempuan-cantik-dan-keren.html#google_vignette

Tanti menepiskan tangan Tuan Yoshida dari bahunya. Lelaki itu sudah terlalu mabuk sehingga dia langsung terkapar di atas tatami. Tanti tersenyum puas melihat wajah laki-laki itu pelan-pelan pucat. Rencana Tanti berjalan lancar. Ada senyum durjana di sudut bibirnya yang bergincu merah.Setelah mengambil beberapa lembar uang di kantong Tuan Yoshida, Tanti keluar kamar dan melenggang pulang dari rumah itu dengan puas. Inilah pertama kali dia menjalankan rencananya dan berhasil. Tanti yakin esok hari, akan terjadi kegemparan saat melihat keadaan Tuan Yoshida.

"Mbak Tanti ... Mbak Tanti," teriakan Yasinta membangunkan Tanti yang baru terlelap. Dengan enggan Tanti bangun dan membukakan pintu kamarnya.

"Sampeyan ngrungu kabar Tuan Yoshida?" tanya Yasinta seraya menyerobot masuk.

"Kabar opo? Kenapa Tuan Yoshida?" tanya Tanti setengah terpejam . Tubuhnya dihempaskan kembali ke atas kasur.

"Semalam Tuan Yoshida tewas. Dia terkena serangan jantung di kamarnya. Gempar! Semua tentara Jepang gempar karena Tuan Yoshida melotot saat meninggal," papar Yasinta menggebu-gebu.

"Meninggal? Masa? Dua hari lalu aku masih bertemu dengannya di sana. " Tanti berpura-pura terkejut mendengar berita itu. Tanti memang meminta izin pada Tuan Yoshida kembali ke rumah bordil Kenanga untuk beberapa hari.

"Kata dokter, Tuan Yoshida meninggal karena serangan jantung, Mbak. Kok iso yo ." Yasinta terus nyerocos  tanpa memedulikan Tanti yang mulai terpejam."

"Mbak kowe Iki diajak omongan kok malah sare," ujar Yasinta seraya menggoncang tubuh Tanti keras.

Baca juga: [Cerpen] Pulang

"Aku ngantuk, Yas. Wis pergi sana aku mau tidur lagi," usir Tanti sambil menarik selimutnya lagi.

Setelah Yasinta keluar, Tanti memandang langit-langit kamar. Ingatannya melayang pada masa lalu kelam yang selama ini membelenggu atmanya.

*

Sore itu menjadi hari yang paling menyakitkan buat Tanti. Pasukan Jepang datang ke desa mereka dan menyeret keluar para laki-laki dengan biadab. Bapak dan Mas Danar pun diperlakukan sama. Mereka dianggap sebagai pemberontak.

Tanti menyaksikan dari atas para, yang menjadi tempat berlindung Tanti dan keluarga jika ada serangan.

Bau debu bercampur anyir darah menyelinap di antara celah kayu. Tanti mengecilkan tubuhnya, menempel pada dinding. Ia menahan napas, berharap desah napasnya tidak terdengar. Dari celah kecil, ia menyaksikan pemandangan yang sulit ia pahami.

Ayahnya diseret keluar rumah seperti binatang, dipukul hingga jatuh tersungkur. Mas Danar~ kakak laki-lakinya~ yang selalu menjadi pelindungnya, dipukuli tanpa ampun hingga wajahnya nyaris tak bisa dikenali. Lalu terdengar jeritan ibunya. Jeritan yang akan terus membekas di telinganya selama sisa hidupnya.

Tanti ingin berteriak, tapi suaranya hilang. Tubuhnya kaku, laksana arca. Ia melihat bagaimana ibunya dihempaskan ke lantai, dilecehkan oleh tiga orang tentara Jepang, lalu ditarik dengan kasar, dan akhirnya... lenyap. Jeritannya berhenti tiba-tiba, digantikan oleh keheningan yang lebih menyiksa.

Saat semua berakhir, Tanti melihat keluarganya telah tiada. Luka itu sangat menghujam dalam kalbunya. Para pribumi yang tak berdaya apa-apa. Mereka laksana burung-burung kecil yang sayapnya dengan mudah dipatahkan oleh elang buas bernama penjajah.

Sore itu lahir seorang Tanti yang baru, bukan lagi gadis kecil yang rapuh, tetapi seorang perempuan yang menyimpan dendam sebesar semesta. Ia bertekad akan membalaskan sakit itu dengan caranya sendiri.

Sejak saat itu Tanti hidup dalam kubangan dendam. Seorang gadis remaja, berusia dua belas tahun, terpaksa hidup dengan dendam yang membelenggunya. Dalam otaknya hanya ada satu kata: balas dendam.

Parasnya yang cantik dan tubuhnya yang gemulai memikat mata kaum lelaki. Senyumnya laksana madu hitam, manis di luar tapi pahit di dalam.

Kecantikan Tanti memang mampu membius para lelaki hidung belang. Tanti tahu tempat mereka biasa berkumpul dan target yang dia incar yakni para perwira Jepang. Bagi para perwira Jepang, kecantikan Tanti sangat memabukkan. Tutur katanya yang lembut dan senyumnya yang memikat dipoles gincu merah, selalu menjadi pembicaraan. Oleh karena itu, Tanti menjadi primadona di rumah bordil Kenanga, milik Tuan Guntara. Dia menjadi bahan rebutan di antara mereka.

Saat Tuan Yoshida datang di kota kecil itu, Tanti diperlakukan berbeda. Petinggi tentara Jepang itu memandang Tanti dengan tatapan yang tidak seperti yang lain. Baginya, Tanti adalah mutiara yang ia temukan di dasar laut yang gelap. Yoshida jatuh hati pada Tanti. Tanti dijadikan simpanan Tuan Yoshida yang memperlakukannya dengan sangat terhormat. Tak ada lagi para perwira Jepang yang mengganggunya.

Ia menerima peran sebagai "gendik" Yoshida laksana peran dalam sebuah tonil. Setiap malam, ia melayani tuannya dengan baik di rumahnya. Tanti menari , menghidangkan teh, menyiapkan makanan atau sekadar mendengar curhatan tuannya itu. Tanti pun kerap mendengarkan percakapan Tuan Yoshida dan para tentara yang mabuk. Mereka lupa diri dan sering menceritakan rencana busuk untuk para penduduk.

Di balik mata cokelatnya yang bening dan tuturnya yang lembut, ada rencana besar yang sedang Tanti susun. Diam-diam Tanti sering menyampaikan informasi itu kepada Tuan Guntara--pemilik rumah bordil"Kenanga". Laki- laki itu bukanlah orang sembarangan. Laki-laki itu sengaja mendirikan rumah bordil itu dan berjuang dengan caranya sendiri. Dia menyusup sebagai mata- mata. Kini Tanti pun melakukan hal yang sama.

Tanti tahu, untuk menghancurkan musuh, ia harus berada di pusat kekuasaan mereka. Dari kamarnya yang mewah, tempat ia dipuja sebagai perhiasan hidup Yoshida, ia mencuri rahasia demi rahasia. Ia menyampaikan semua informasi itu kepada pejuang republik.

Namun, dendam Tanti tidak berhenti pada pengkhianatan itu. Ia ingin lebih. Ia ingin melihat Yoshida hancur, perlahan dan menyakitkan, seperti apa yang telah ia alami.

Setiap hari, Tanti memasukkan setetes racun yang nyaris tak terlihat ke dalam teh Tuan Yoshida. Tidak cukup untuk membunuh, tetapi mampu membuat Tuan Yoshida merasa tubuhnya melemah sedikit - sedikit. Hal itu berulang terus menerus.

Yoshida, yang selalu percaya pada Tanti, meminum teh itu tanpa curiga. "Tehmu selalu yang terbaik, Tanti," katanya dengan senyum puas. Tapi di balik senyum itu, Tanti hanya membalas dengan tatapan datar, menyembunyikan api dendam yang menyala-nyala di dadanya. Tanti menikmati setiap detik ketika Yoshida mulai kehilangan energinya. Ia menjadi lebih sering sakit, lebih mudah lelah.

Pagi itu, Tanti tak berkata apa- apa saat mendengar kematian Tuan Yoshida. Bahkan saat Tanti ditangkap tentara Jepang karena diketahui dirinya yang terakhir bersama Tuan Yoshida. Ia hanya menatap lurus ke depan, ke langit kelabu yang seakan ikut menangisi nasibnya.

Tanti dinyatakan bersalah tanpa pengadilan. Dia harus menerima hukuman tembak di lapangan. Tanti tak pernah takut menghadapi takdirnya. Ia tidak menyesal. Jika ini adalah akhirnya, maka ia menerimanya dengan bangga. Ia telah melawan, meski hanya dengan caranya sendiri.

Namun, takdir belum selesai bermain. Sebelum komando tembak dilontarkan, suara gemuruh datang dari kejauhan. Dari balik kabut hujan, pasukan republik menerobos masuk, dipimpin oleh Letnan Sarjono. Peluru berdesing, jeritan terdengar, dan dalam kekacauan itu, Tanti merasa tangannya ditarik dengan kuat.

Ketika ia sadar, Letnan Sarjono sudah membawanya keluar dari lapangan, membawanya menuju tempat yang aman.

"Kami tidak akan membiarkan perjuanganmu sia-sia," kata Letnan Sarjono dengan nada tegas.

Tanti tahu, ia tidak akan pernah benar-benar bebas. Namun, setidaknya ia telah memilih untuk melawan, membalaskan dendam keluarganya meski dengan caranya sendiri. Bagi  Tanti hidup bukan hanya tentang kebebasan, melainkan tentang keberanian untuk berdiri, bahkan ketika seluruh keluarganya sudah tak bersisa lagi.

Catatan kaki

  • Wanodya: remaja puteri
  • tatami: alas tidur
  • Mbak kowe Iki diajak omongan kok malah sare : Mbak kamu diajak bicara malah tidur.
  • Sampeyan ngrungu kabar Tuan Yoshida?: Kamu mendengar kabar Tuan Yoshida?
  • Kabar opo? : Kabar apa?
  • Kok iso yo? Kok bisa ya

Cibadak 18 Januari 2025

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun