Mohon tunggu...
Nina Sulistiati
Nina Sulistiati Mohon Tunggu... Guru - Senang menulis, pembelajar, senang berbagi ilmu

Pengajar di SMP N 2 Cibadak Kabupaten Sukabumi.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Cerpen] Dua Dunia

15 Desember 2024   22:01 Diperbarui: 15 Desember 2024   22:01 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Dokumen Pribadi by Canva

Malam itu, Juna kembali tenggelam dalam mimpi yang sama. Dirinya berada di sebuah dunia yang tak dia kenal, tetapi terasa begitu nyata. Dia berdiri di dalam sebuah istana megah dengan arsitektur yang indah laksana kisah-kisah dongeng. Koridor panjang dengan dinding berhias ukiran emas dan lukisan-lukisan kuno membentang di sekelilingnya. Cahaya obor yang menggantung di sepanjang dinding memantulkan bayangan-bayangan samar, membuat tempat itu berkesan romantis.

Mimpi itu mulai menghantuinya sejak ia menulis sebuah cerita novel tentang seorang pengawal kerajaan yang jatuh cinta kepada putri raja. Awalnya, itu hanyalah ide yang muncul di sela kelelahan rutinnya --kisah cinta terlarang yang ingin dikembangkan menjadi novel. Namun, semakin ia menulis, semakin sering dunia yang diciptakan itu muncul dalam tidurnya. Dan sekarang, mimpi-mimpi itu bukan hanya bayangan yang samar. Ia bisa merasakan dingin lantai marmer di bawah kakinya, aroma kayu dari pintu-pintu besar, hingga detak jantungnya sendiri yang berpacu saat menyadari sesuatu. Dalam mimpi ini, ia bukan lagi Juna sang penulis.

Dia berada di suatu tempat yang dinding-dinding batunya berdiri kokoh dan diterangi oleh cahaya obor yang bergoyang, memancarkan bayangan seperti lukisan yang bergerak. Nyala api yang mulai redup itu tampak seakan menyimpan cerita-cerita lama. Ruangan itu berbau tanah, mempertegas suasana yang membekap seluruh inderanya, membuat setiap langkah terasa berat oleh sesuatu yang tak kasat mata.

Langkah kakinya menggema di sepanjang koridor istana yang sunyi. Setiap jejak terasa seperti hitungan mundur menuju masa yang tak bisa ia elakkan. Ketika Juna melangkah lebih jauh, ia merasakan pandangan yang tak terlihat, seolah ada mata-mata tersembunyi yang mengikuti setiap gerakannya, mengawasi tanpa suara. Sensasi itu membuat punggungnya tegang, seakan ia berjalan di tengah ruang yang bukan miliknya, namun telah mengenalnya dengan baik.

Langkah-langkahnya mengarah ke sebuah pintu besar yang setengah terbuka. Di balik pintu itu, ia melihat sosok Putri Lila, berdiri dengan anggun di bawah lampu gantung kristal yang berkilauan. Rambut keemasannya memantulkan cahaya dan matanya yang besar memandang Juna dengan ekspresi yang sulit diartikan-- antara rasa lega dan ketakutan.

Ketika mata mereka bertemu, waktu seakan berhenti. Segala suara, segala gerak, lenyap dalam sekejap. Hanya ada mereka berdua---Juna dan Lila---terhubung oleh sesuatu yang lebih dalam daripada kata-kata. Rasanya seperti seluruh dunia menahan napas, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi di balik keheningan itu, ada ketakutan yang melingkari mereka, seperti bayangan yang tak pernah benar-benar hilang. Cinta mereka adalah keindahan sekaligus kutukan karena cinta mereka terlarang.

"Juna, kita tidak punya banyak waktu," bisik Lila dengan suara penuh desakan. Ia meraih tangannya, menggenggamnya erat, seolah takut kehilangan.

"Aku akan melindungimu, apa pun yang terjadi," jawab Juna dengan nada tegas, meski jauh di lubuk hatinya ia tahu ancaman yang mereka hadapi terlalu besar untuk dilawan sendiri.

Namun, sesuatu berbeda kali ini. Ketika ia menatap mata Lila, sekelebat bayangan muncul di pikirannya. Ia melihat dirinya -- bukan sebagai pengawal, melainkan sebagai penulis yang duduk di depan laptop, menggarap kisah ini dengan jemarinya yang lincah menekan keyboard.

Juna terhenyak. Sebuah kesadaran aneh menyelinap ke dalam pikirannya. Apakah ini hanya mimpi? Atau, lebih dari itu, apakah ia terjebak di antara dua dunia---dunia nyata dan dunia yang diciptakannya sendiri?

Ketika ia terbangun, keringat dingin membasahi tubuhnya. Laptop di mejanya masih menyala, menunjukkan halaman terakhir naskah novel yang tengah ia tulis. Juna membaca ulang kalimat terakhir yang ia ketik sebelum tertidur:

Di ujung koridor, Putri Lila berdiri, memandangnya dengan mata penuh cinta dan ketakutan. Rambut panjangnya yang keemasan terurai, berkilauan di bawah sinar obor. Namun, cinta mereka terlarang oleh peraturan kerajaan."

"Tidak mungkin," gumamnya, jantungnya berdetak kencang. Ia menatap layar itu, mencoba mencari jawaban. Namun, sebelum ia bisa merenungkannya lebih jauh, suara ketukan pelan terdengar dari arah pintu kamar.

Juna terdiam. Siapa yang datang tengah malam begini? Dengan ragu, ia berjalan menuju pintu dan membukanya perlahan. Di luar sana, tidak ada siapa-siapa, hanya udara dingin yang menyeruak masuk.

Namun, saat ia hendak menutup pintu, sebuah benda jatuh ke lantai. Sebuah surat dengan segel lilin berwarna emas. Tangan Juna gemetar saat ia memungutnya dan membuka segelnya. Isi surat itu membuatnya terpaku.

"Juna, istana sedang dalam bahaya. Aku membutuhkanmu. --Lila.

Rasa penasaran mendorong Juna untuk kembali menulis. Imajinasi liarnya dia implementasikan dalam barisan kata yang semakin lama menyeretnya ke dunia lain. Setiap kata yang ia tulis seolah-olah membawanya lebih dalam ke dunia itu.

Namun, kali ini, ia memperhatikan sesuatu yang tidak biasa. Dunia yang terekam dalam benaknya semakin nyata, detail-detailnya semakin rumit, bahkan lebih dari yang pernah ia tuliskan.

Saat ini, istana diselimuti ketegangan. Raja baru, yang kejam dan haus kekuasaan, mengincar Lila untuk dikorbankan dalam sebuah ritual demi memperkuat cengkeramannya di takhta. Juna, sebagai pengawal setia, harus menyelamatkannya.

"Aku punya rencana," kata Lila, suaranya penuh tekad.

Juna mengangguk, meski hatinya penuh keraguan. Dalam perjalanan ke luar istana, mereka dihadang sekelompok prajurit. Pertarungan pun tak terelakkan. Juna menghunus pedangnya, bertarung dengan seluruh kemampuan yang ia miliki.

Koridor istana yang megah berubah menjadi medan pertempuran yang mencekam. Juna, seorang prajurit yang telah mengkhianati kerajaan untuk membela kebenaran yang diyakininya, berdiri tegap di tengah kerumunan pengawal yang mengepungnya. Pedangnya, yang berkilau memantulkan cahaya obor, tampak seperti sambaran petir yang siap melesat kapan saja.

Pengawal kerajaan melangkah maju, tubuh mereka tertutup baju zirah berat, wajah mereka tersamar di balik helm baja.

"Serahkan dirimu, Juna. Ini peringatan terakhir!" seru salah satu dari mereka, nada suaranya menggema dengan keangkuhan.

Namun Juna tak gentar. Matanya menyala penuh keyakinan, seperti bara api yang tak akan padam meski angin badai menerpa. Dengan satu gerakan cepat, ia menghunus pedangnya ke arah pengawal terdekat, memulai pertempuran yang tak terhindarkan.

Pedang pertama menyerang dari sisi kanan, namun Juna dengan cekatan menangkisnya. Dentingan logam memenuhi udara, memantul di dinding batu yang dingin. Serangan berikutnya datang dari belakang, namun Juna berputar cepat, pedangnya melesat bagaikan busur bulan sabit, menghantam helm musuh hingga roboh.

"Aku tidak akan menyerah untuk kebenaran!" teriaknya sambil menepis dua serangan sekaligus. Tubuhnya bergerak seperti air yang mengalir, menghindari setiap serangan dengan gesit dan menyerang dengan kekuatan yang menghancurkan.

Pengawal kerajaan terus berdatangan, jumlah mereka semakin banyak. Namun, Juna bukanlah prajurit biasa. Setiap gerakannya bagaikan tarian mematikan, langkahnya penuh strategi, seperti bidak catur yang menguasai setiap petak di papan permainan.

Pedangnya beradu dengan tombak salah satu pengawal, menghasilkan percikan api yang menyala di udara. Ia melompat ke belakang untuk menjaga jarak, lalu melesat maju dengan kecepatan yang mengaburkan pandangan, melumpuhkan musuhnya dengan satu tebasan tegas.

Darah mulai membasahi lantai marmer, namun Juna tetap teguh. Nafasnya memburu, dadanya naik-turun, tapi matanya terus memindai musuh berikutnya. Koridor itu kini dipenuhi suara erangan dan denting senjata.

Saat salah satu prajurit berhasil menebas pedangnya, Juna terluka. Namun, rasa sakit itu begitu nyata, hingga ia sadar bahwa ini bukan sekadar mimpi lagi. Ia benar-benar ada di sana, terjebak di dunia yang ia ciptakan sendiri.

Konflik mencapai klimaks saat Juna dan Lila akhirnya tiba di sebuah lorong rahasia menuju gerbang belakang istana. Namun, di sana Raja sendiri sudah menunggu, bersama pasukannya.

"Kalian tak akan bisa melarikan diri dariku!" hardik Raja dengan seringai jahat.

"Aku akan melawanmu!" teriak Juna dengan napas terengah. Ia berdiri di depan Lila, melindunginya dengan tubuhnya sendiri.

Pertarungan terakhir pun terjadi. Dalam upaya terakhir yang putus asa, Juna berhasil melukai Raja, tetapi ia sendiri terjatuh, kehabisan tenaga. Sabetan belati menggores bahu bagian kanannya.

"Juna!" Lila menjerit, berlutut di samping tubuhnya yang berlumuran darah.

Namun, sebelum segalanya berakhir, cahaya terang menyelimuti mereka. Juna merasa tubuhnya ringan, seperti terangkat dari medan pertempuran. Dunia di sekitarnya memudar, suara denting pedang dan erangan musuh lenyap digantikan oleh keheningan yang menyesakkan.Juna merasakan dirinya terlempar keluar dari dunia itu, kembali ke kamarnya dengan napas terengah.

Ia membuka matanya, menemukan dirinya terbaring di atas tempat tidur yang berantakan. Jendela kamar terbuka, membiarkan angin malam menerobos masuk, menggoyangkan tirai putih yang lembut. Tapi ada sesuatu yang aneh. Tangannya gemetar ketika ia mengangkatnya---ada bekas luka di sana, goresan yang masih basah, persis seperti yang ia alami dalam pertempuran.

Juna meraba dadanya. Jantungnya masih berdegup kencang, dan ia merasakan rasa sakit  di bahunya,   Namun, ini seharusnya tidak mungkin. Itu hanya mimpi... bukan?

Matanya tertuju pada meja di sudut kamar. Laptopnya masih menyala dan dalam aplikasi word tertulis sebuah cerita dengan judul : Di antara Dua Dunia. Juna terpaku. Mulutnya ingin berbicara, tetapi tidak ada kata yang keluar.

Juna meraih mouse, jari-jarinya gemetar saat kursor menunjuk pada halaman pertama naskah. Dengan hati-hati, ia mulai membaca ulang setiap kata. Semakin dalam ia membaca, semakin yakin ia bahwa cerita ini bukan sekadar imajinasinya. Ada sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata di layar itu. 

Tiba-tiba, layar laptop berkedip, menampilkan pesan kesalahan yang aneh: "Akses ditolak. Data rusak." Juna mencoba menyalakan ulang laptopnya, tetapi hasilnya sama. Rasa takut mulai menjalar di hatinya. Apakah ada yang sedang mencoba menyembunyikan sesuatu darinya?

Cibadak, 15 Desember 2024 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun