Koridor istana yang megah berubah menjadi medan pertempuran yang mencekam. Juna, seorang prajurit yang telah mengkhianati kerajaan untuk membela kebenaran yang diyakininya, berdiri tegap di tengah kerumunan pengawal yang mengepungnya. Pedangnya, yang berkilau memantulkan cahaya obor, tampak seperti sambaran petir yang siap melesat kapan saja.
Pengawal kerajaan melangkah maju, tubuh mereka tertutup baju zirah berat, wajah mereka tersamar di balik helm baja.
"Serahkan dirimu, Juna. Ini peringatan terakhir!" seru salah satu dari mereka, nada suaranya menggema dengan keangkuhan.
Namun Juna tak gentar. Matanya menyala penuh keyakinan, seperti bara api yang tak akan padam meski angin badai menerpa. Dengan satu gerakan cepat, ia menghunus pedangnya ke arah pengawal terdekat, memulai pertempuran yang tak terhindarkan.
Pedang pertama menyerang dari sisi kanan, namun Juna dengan cekatan menangkisnya. Dentingan logam memenuhi udara, memantul di dinding batu yang dingin. Serangan berikutnya datang dari belakang, namun Juna berputar cepat, pedangnya melesat bagaikan busur bulan sabit, menghantam helm musuh hingga roboh.
"Aku tidak akan menyerah untuk kebenaran!" teriaknya sambil menepis dua serangan sekaligus. Tubuhnya bergerak seperti air yang mengalir, menghindari setiap serangan dengan gesit dan menyerang dengan kekuatan yang menghancurkan.
Pengawal kerajaan terus berdatangan, jumlah mereka semakin banyak. Namun, Juna bukanlah prajurit biasa. Setiap gerakannya bagaikan tarian mematikan, langkahnya penuh strategi, seperti bidak catur yang menguasai setiap petak di papan permainan.
Pedangnya beradu dengan tombak salah satu pengawal, menghasilkan percikan api yang menyala di udara. Ia melompat ke belakang untuk menjaga jarak, lalu melesat maju dengan kecepatan yang mengaburkan pandangan, melumpuhkan musuhnya dengan satu tebasan tegas.
Darah mulai membasahi lantai marmer, namun Juna tetap teguh. Nafasnya memburu, dadanya naik-turun, tapi matanya terus memindai musuh berikutnya. Koridor itu kini dipenuhi suara erangan dan denting senjata.
Saat salah satu prajurit berhasil menebas pedangnya, Juna terluka. Namun, rasa sakit itu begitu nyata, hingga ia sadar bahwa ini bukan sekadar mimpi lagi. Ia benar-benar ada di sana, terjebak di dunia yang ia ciptakan sendiri.
Konflik mencapai klimaks saat Juna dan Lila akhirnya tiba di sebuah lorong rahasia menuju gerbang belakang istana. Namun, di sana Raja sendiri sudah menunggu, bersama pasukannya.