Jawaban yang sederhana tetapi mengandung makna yang dalam buatku. Cita-cita yang tidak mementingkan untuk dirinya sendiri.
"Guru sangat yang diperlukan di sini, Pak. Kehadiran Bapak memberikan semangat baru setelah dua tahun kami tidak kedatangan guru baru." ujar Kepala Sekolah menyampaikan sambutan seraya memandangku tajam.
Ada harapan besar kepadaku dari tatapan matanya itu. Perjuangan guru untuk mencerdaskan anak bangsa betul-betul dipertaruhkan. Setiap ada guru yang ditempatkan di sekolah ini selalu mundur saat mengetahui medan. Mereka tidak sanggup dengan kondisi jalan yang harus dilalui. Belum lagi jaringan listrik masih terbatas. Ternyata masih ada wilayah di pertiwi ini yang masih kesulitan listrik apalagi jaringan internet.
"Pak Pram!" suara Siti membuyarkan lamunanku yang sejak tadi terpaku pada pesan Anjani di layar ponsel. Pesan itu penuh dengan rasa kecewa, meminta kepastian tentang masa depan kami.
"Katanya Bapak akan membimbing saya untuk lomba sains nanti," ujar Siti dengan wajah lugu, membawa buku-buku tebal di pelukannya.
Aku menatapnya. Di balik seragam lusuhnya, ada tekad yang menyala-nyala. Gadis kecil dari desa ini, dengan segala keterbatasannya, masih memiliki mimpi besar yang menggantung tinggi.
"Siti, kapan lomba sains itu. Bapak lupa ?" tanyaku, berusaha menormalkan suara yang barusan sempat tercekat.
"Minggu depan, Pak. Saya sudah belajar tentang listrik dan energi matahari, tapi saya masih bingung soal eksperimennya. Kalau Bapak tidak sibuk, saya mau minta waktu..." Siti menggantungkan kalimatnya, ragu-ragu.
Ponselku bergetar lagi. Pesan baru dari Anjani: "Pram, aku butuh kepastian. Aku tidak bisa menunggu lebih lama."
Siti tersenyum kecil, meski matanya penuh harap. Aku teringat janji yang kubuat pada diriku sendiri bertahun-tahun lalu, saat pertama kali menginjakkan kaki di tempat terpencil ini: "Aku akan menjadi cahaya kecil untuk anak-anak di sini."
Namun, sekarang aku berdiri di persimpangan, antara cinta dan pengabdian.