Lana, Sarah, dan Vina terdiam setelah kepergian Prima. Canda tawa di antara mereka perlahan memudar, tergantikan oleh rasa penasaran yang tak terbendung. Kengerian cerita tentang rumah nomor tiga belas mulai menggantung di udara, seolah-olah kata-kata Prima tadi adalah mantra yang menyebarkan keraguan. Namun, ketiganya segera menepis pikiran itu.
"Sudahlah, Prima hanya mencoba menakut-nakuti kita," ucap Lana, suaranya terdengar tidak terlalu yakin.
"Ya, tidak mungkin ada yang aneh di sana. Zaki begitu sempurna," tambah Sarah sambil melipat tangan di dada. Namun, ada sedikit ketidaknyamanan di wajahnya.
"Aku rasa kita harus tetap datang ke undangannya. Siapa tahu ini kesempatan kita mengenal dia lebih dekat," saran Vina.
Keesokan malamnya, mereka bertiga memutuskan untuk menghadiri "party" yang diadakan Zaki. Ketika mereka tiba di rumah nomor tiga belas, pintu depan sudah terbuka lebar, mengundang mereka masuk. Aroma dupa menyelimuti udara, menciptakan atmosfer yang aneh dan menekan.
Lana, Sarah, dan Vina saling bertukar pandang sebelum akhirnya masuk. Di dalam rumah itu, suasananya terasa sunyi dan gelap, berbeda dari ekspektasi mereka tentang sebuah pesta. Tidak ada musik, tidak ada keramaian, hanya ruang tamu yang penuh dengan lukisan-lukisan besar berbingkai emas yang terpampang di dinding.
"Zaki?" panggil Lana dengan suara lirih.
Tak lama, Zaki muncul dari sebuah pintu di sudut ruangan, masih dengan senyuman yang sama. "Selamat datang," ucapnya ramah, tetapi entah kenapa kali ini senyumnya terasa sedikit berbeda, seperti ada yang tersembunyi di balik tatapannya.
"Mana yang lain?" tanya Vina, mencoba melihat sekeliling, berharap menemukan orang lain.
Zaki tertawa pelan, suaranya bergema di dalam ruangan. "Kalian adalah tamu kehormatanku malam ini."
Ketiganya merasakan sesuatu yang tidak benar. Ruangan ini, suasana ini, dan Zaki sendiri terasa semakin janggal. Tapi sebelum mereka bisa berkata lebih jauh, Zaki mempersilakan mereka duduk di sofa tua yang ada di tengah ruangan.