Bang Tohir mendengus, lalu berpaling tanpa sepatah kata lagi, meninggalkan bedeng bambu itu dengan langkah berat. Para orang tua perlahan-lahan mengikuti, beberapa menarik anak-anak mereka pergi, sementara yang lain membiarkan anak-anak mereka tetap tinggal.
Kakek melihat ke arah anak-anak yang masih berdiri di sekelilingnya, beberapa dengan air mata di mata mereka. Ia tersenyum, meskipun hatinya terasa berat. "Kita lanjutkan pelajaran kita," ujarnya pelan.
Namun, saat Kakek berbalik, suara gemerisik terdengar di belakangnya. Bapak menoleh dan melihat Bang Tohir kembali, kali ini dengan ekspresi wajah yang sulit ditebak.
"Aku... akan berpikir lagi tentang ini," ucap Bang Tohir dengan suara pelan, nyaris tak terdengar..
Kakek mengangguk, memahami bahwa ini mungkin bukan akhir dari pertentangan ini. Masalah belum sepenuhnya selesai, dan ia tahu, esok hari mungkin akan membawa tantangan baru. Namun, hari itu di bawah langit  cerah, Kakek merasa sedikit lega. Setidaknya, untuk sementara, mimpi anak-anak itu masih bisa hidup, meskipun tipis.
Sambil menatap langit , Kakek bertanya kepadaku, "Apakah ini hanya permulaan dari pertarungan yang lebih besar?"
Aku hanya tersenyum. Aku yakin Kakek bisa menghadapi ini semua dengan caranya sendiri. Kakek terkenal tangguh dan sabar. Pasti dia akan sanggup melewati ini semua.
Bedeng bambu itu, yang hanya merupakan tempat sederhana untuk belajar, kini menjadi saksi bisu dari perjuangan seorang pria tua yang mencoba memberikan cahaya di tengah kegelapan. Perjuangan yang tak hanya melawan kemiskinan dan ketidakadilan, tetapi juga melawan kebodohan dan ketidakberdayaan. Perjuangan yang belum tahu akan berakhir di mana dan bagaimana.
Bagiku Kakek bukan hanya pejuang. Beliau laksana malaikat yang selalu membantu orang lain dalam kebaikan.
Cibadak, 28 Agustus 2024
Cerpen ini keberikan untuk anak-anak didikku sebagai pembelajaran bahwa pendidikan itu harus diraih dengan segala upaya dan kerja keras. Semangat!