Mohon tunggu...
Nina Sulistiati
Nina Sulistiati Mohon Tunggu... Guru - Senang menulis, pembelajar, senang berbagi ilmu

Pengajar di SMP N 2 Cibadak Kabupaten Sukabumi.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cerpen"Di Balik Tirai Waktu"

18 Agustus 2024   11:32 Diperbarui: 19 Agustus 2024   15:00 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input sumber gambar dokumen pribadi by Canva

Desa tempat kita tinggal terletak di kaki Gunung Merbabu. Desa ini dikelilingi oleh persawahan yang subur dan hutan hujan tropis yang sangat lebat. Lingkungan alam yang mendominasi daerah ini memberikan karakteristik khas bagi kehidupan masyarakat setempat, dengan sawah yang membentang luas dan hutan rimba yang menjadi habitat bagi berbagai spesies flora dan fauna.

Namun, penjajahan Belanda di Indonesia meluluhlantakkan harapan masyarakat desa ini. Kemiskinan, kelaparan dan penderitaan menyelimuti kehidupan mereka sehari-hari. Mereka menjadi budak di tanah-tanah mereka sendiri.

Pada malam tertentu, kabut tebal menyelimuti hutan di sekitar gunung, menciptakan suasana yang mencengkram dan menyeramkan. Dalam kondisi seperti ini aku~Aryo~ dan kamu~ Bagas~, melakukan perjalanan menuju gunung untuk bertemu dengan para pejuang yang bergerilya memperjuangkan kemerdekaan bangsa.

Kabut yang menutupi hutan membuat semua objek di sekeliling tampak kabur dan tidak jelas. Kondisi ini memberikan rasa takut yang lebih besar kepadaku dan kamu. Namun kewaspadaan kita saat itu tetap tinggi.

Di tengah kabut, kita menemukan sebuah rumah berpintu kayu tua penuh dengan ukiran-ukiran kuno yang mencolok, dan merupakan simbol-simbol yang memiliki makna khusus.

Apa itu?" tanyaku, menatap pintu dengan keheranan.

"Aku tidak tahu, Yo" jawabmu dengan rasa penasaran yang sama. "Tapi kita harus melihatnya."

Kala kita menyentuh pintu tersebut, terjadi sesuatu yang sangat mengejutkan. Tubuh kita terserap dalam dimensi ruang dan waktu, lalu membawa kita ke lingkungan yang tampaknya berada di tempat yang sangat asing.

Aku ingat dengan jelas hari itu, Gas, saat kita berdua berada di tempat yang tak kita kenal. Seakan-akan tanah yang kita pijak telah menelan kita bulat-bulat.

Kau adalah seorang pria muda dengan semangat berkobar, berjuang melawan penindasan Belanda di tanah Jawa ini. Namun, kisah yang terjadi pada kita lebih dari sekadar perang dan perlawanan. Itu adalah tentang dunia lain yang menjebak kita dalam misteri tak terpecahkan

Aku membuka mata dan mendapati diri di tempat yang asing, tetapi terasa begitu akrab. Sementara kamu terkapar di sisiku dengan tatapan mata yang nanar.

"Kita terdampar di mana?" tanyamu waktu itu.

"Entah ... tetapi rasanya aku pernah berada di tempat ini," ujarku sambil mengitari seluruh tempat.

Tempat ini tampak seperti desa kita, namun ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang membuat bulu kudukku berdiri. Penduduk desa yang biasa berpakaian  jarik, kebaya,surjan,pangsi tidak terlihat. Mereka berbicara dalam bahasa yang terdengar asing. Mereka memandang kita dengan tatapan curiga, seakan-akan kita adalah makhluk dari dunia lain.

"Siapa kalian, anak muda?" tanya seorang perempuan dengan membawa senjata laras panjang dan berseragam layaknya seorang prajurit Belanda.

Dia mendekat ke arah kita. Matanya menyipit saat memandang tajam ke arah kita.

"Aku Aryo, dan ini temanku, Bagas," jawabku, "Kami dari desa sebelah gunung. Bagaimana kami bisa sampai di sini?"

Ia menggeleng, "Kalian telah melanggar batas antara dua dunia. Dunia ini terjebak dalam lingkaran waktu yang tak pernah berubah. Hanya satu cara untuk kembali." Matanya menatap jauh, seakan melihat sesuatu yang tak bisa dijangkau oleh pandangan biasa. "Kalian harus menemukan tirai waktu di puncak gunung."

Kita memulai perjalanan, Gas, dengan semangat yang sama seperti saat melawan penjajah. Namun, perjalanan ini jauh lebih sulit dari yang kita bayangkan. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah ada kekuatan tak terlihat yang mencoba menahan kita. Rasa putus asa mulai merayap di hati, tetapi kita tak bisa menyerah. Kita harus kembali, bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi untuk desa dan orang-orang yang kita cintai.

Di tengah perjalanan, kita bertemu dengan seorang pria misterius bernama Ki Ageng. Tatapannya tajam, sedang mengawasi setiap gerakan kita dengan seksama. Dia berbicara dengan suara rendah dan berat, seolah-olah setiap kata yang keluar dari mulutnya membawa beban rahasia yang dalam.

"Kalian mencari tirai waktu?" tanyanya dengan nada yang hampir mencemooh. "Tidak sembarang orang bisa menemukannya. Hanya mereka yang benar-benar memahami jati diri dan tujuan mereka yang dapat mencapainya."

"Ki Ageng," kataku dengan hati-hati, "Kami tidak punya pilihan lain. Kami harus kembali ke dunia kami. Tolong bantu  menemukan tirai itu."

Ki Ageng mengangguk perlahan, matanya masih menatap dalam-dalam ke arah kita saat itu. "Baiklah, tapi ketahuilah, perjalanan ini bukan hanya tentang menemukan jalan pulang. Ini tentang memahami mengapa kalian sampai di sini. Hanya dengan menyadari apa yang benar-benar kalian cari, tirai waktu itu akan terbuka untuk kalian."

Di satu titik, saat itu kita tiba di sebuah lembah yang dipenuhi oleh batu-batu besar. Batu-batu itu tampak seperti reruntuhan bangunan kuno yang entah bagaimana tetap berdiri tegak meski waktu telah lama berlalu. Di tengah lembah, ada sebuah batu besar yang permukaannya halus seperti tirai, dan di situlah kita melihatnya---tirai waktu.

Tirai itu tidak memantulkan bayangan kita, melainkan menunjukkan bayangan-bayangan masa lalu, seolah-olah mengungkapkan sejarah yang terlupakan. Kita melihat gambar-gambar desa kita, penduduknya, dan pertempuran yang tak berujung melawan penjajah. Kemudian, bayangan itu berubah, menampilkan sosok-sosok yang tak kita kenali---mereka yang telah datang sebelum kita, terjebak di dunia ini.

"Apa yang kita lihat?" tanyamu dengan suara bergetar. Ada gurat ketakutan di wajahmu saat itu.

"Itu adalah masa lalu yang masih membayangi tempat ini," jawab Ki Ageng. "Namun, jika kalian ingin kembali, kalian harus menatap tirai ini dengan hati yang jernih. Ingatlah alasan kalian berjuang, ingatlah cinta kalian pada tanah air dan orang-orang yang kalian tinggalkan."

Kita saling berpandangan, menyadari bahwa perjalanan ini bukan hanya tentang melarikan diri dari dunia aneh ini, tetapi tentang mengingat siapa diri kita dan apa yang kita perjuangkan. Dengan hati yang teguh, kita menatap ke dalam tirai.

Bayangan-bayangan mulai memudar, dan perlahan, tirai itu berubah menjadi portal cahaya yang terang. Kita merasa terseret ke dalam, melayang-layang di antara waktu dan ruang.

Saat membuka mata, kita kembali berada di hutan di kaki Gunung Merbabu, dengan kabut yang perlahan menghilang. Desa kita tampak di kejauhan, terlihat sama seperti sebelumnya, tetapi ada sesuatu yang berbeda dalam diri. Kita telah melalui perjalanan yang mengubah cara memandang dunia dan diri sendiri.

"Bagas, kita berhasil," kataku dengan lega. Kita berpelukan,"Kita kembali."

Kau mengangguk, tersenyum samar. "Ya, dan sekarang kita tahu betapa berharganya apa yang dimiliki. Mari kita berjuang lebih keras, untuk mereka yang tidak bisa kembali."

Saat kita melangkah menuju desa dengan semangat baru, semuanya terasa begitu nyata. Namun, ketika tiba di gerbang desa, sesuatu yang ganjil mulai terasa. Rumah-rumah terlihat persis seperti yang kita tinggalkan, tetapi desa itu tampak sunyi, terlalu sunyi. Tak ada suara ayam berkokok, tak ada anak-anak berlarian, bahkan angin pun seolah berhenti berhembus.

"Kau merasa ada yang aneh, Aryo?" tanyamu sambil berhenti di ambang gerbang desa.

Aku mengangguk, mencoba menenangkan perasaanku yang tiba-tiba tak menentu. "Ya, Bagas. Sesuatu... sesuatu tidak benar."

Kita melangkah masuk, dan di jalan utama desa, kita menemukan sesuatu yang membuat darah kita membeku. Di depan balai desa, berdiri sebuah patung besar, patung dua orang pemuda dengan pose gagah. Mata kita membelalak saat mengenali wajah-wajah yang terpahat di atas batu itu. Itu adalah wajah kita---aku dan kamu.

"Bagas... itu kita," suaraku bergetar. "Mengapa ada patung kita di sini?"

Kau hanya bisa terdiam, matamu terpaku pada prasasti di bawah patung itu. Dengan tangan yang gemetar, aku membacanya dengan suara pelan, seolah-olah kata-kata itu adalah kutukan.

"Patung ini didirikan untuk mengenang Aryo dan Bagas, dua pejuang yang hilang dalam kabut waktu saat berusaha melawan penjajah pada tahun 1948."

Dada kita serasa dihantam sesuatu yang sangat berat. Kita berdua saling berpandangan, mencoba memahami kenyataan yang tak terucapkan. Sejak saat itu aku tak pernah bertemu lagi denganmu, Gas.Waktu di dunia kita telah berhenti,

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun