Saat kita melangkah menuju desa dengan semangat baru, semuanya terasa begitu nyata. Namun, ketika tiba di gerbang desa, sesuatu yang ganjil mulai terasa. Rumah-rumah terlihat persis seperti yang kita tinggalkan, tetapi desa itu tampak sunyi, terlalu sunyi. Tak ada suara ayam berkokok, tak ada anak-anak berlarian, bahkan angin pun seolah berhenti berhembus.
"Kau merasa ada yang aneh, Aryo?" tanyamu sambil berhenti di ambang gerbang desa.
Aku mengangguk, mencoba menenangkan perasaanku yang tiba-tiba tak menentu. "Ya, Bagas. Sesuatu... sesuatu tidak benar."
Kita melangkah masuk, dan di jalan utama desa, kita menemukan sesuatu yang membuat darah kita membeku. Di depan balai desa, berdiri sebuah patung besar, patung dua orang pemuda dengan pose gagah. Mata kita membelalak saat mengenali wajah-wajah yang terpahat di atas batu itu. Itu adalah wajah kita---aku dan kamu.
"Bagas... itu kita," suaraku bergetar. "Mengapa ada patung kita di sini?"
Kau hanya bisa terdiam, matamu terpaku pada prasasti di bawah patung itu. Dengan tangan yang gemetar, aku membacanya dengan suara pelan, seolah-olah kata-kata itu adalah kutukan.
"Patung ini didirikan untuk mengenang Aryo dan Bagas, dua pejuang yang hilang dalam kabut waktu saat berusaha melawan penjajah pada tahun 1948."
Dada kita serasa dihantam sesuatu yang sangat berat. Kita berdua saling berpandangan, mencoba memahami kenyataan yang tak terucapkan. Sejak saat itu aku tak pernah bertemu lagi denganmu, Gas.Waktu di dunia kita telah berhenti,
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI