Mohon tunggu...
Nina Sulistiati
Nina Sulistiati Mohon Tunggu... Guru - Senang menulis, pembelajar, senang berbagi ilmu

Pengajar di SMP N 2 Cibadak Kabupaten Sukabumi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Renjana Lara

19 Maret 2024   13:24 Diperbarui: 21 Maret 2024   12:29 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input sumber https://context.id/read/1574/

Keadilan adalah hak semua warga negara. Namun, keadilan sering dinodai oleh kepentingan orang-orang tak bertanggungjawab dan mengorbankan orang lain untuk menanggungnya.

Langit kelam dan candra buana yang biasa menghias malam pudar diregut guyuran hujan deras. Jeruji-jeruji besi bungkam, suasana hening karena semua penghuni terlelap dalam mimpi-mimpi yang bias.

Aku termangu memandang bocah kecil yang meringkuk di sudut ruangan. Sesekali bocah itu mengigau dan berteriak kegirangan. Mungkin dia bermimpi tentang sesuatu yang membahagiakannya. 

Sesuatu yang tidak pernah dirasakannya sejak kehadirannya di muka bumi ini. Hidupnya terkukung dalam ketidakpastian. Kebebasannya diregut oleh nasib. Dia harus terkurung di dalam hotel prodeo bersama ibunya.

Lalu aku menatap tiga orang tamu yang sengaja mengunjungiku malam-malam begini. Mereka ingin tahu tentang kisahku tentang  semua yang kualami, penderitaan, kesedihan, dan keadilan yang dirampas dari hidupku,  yang berbaur selama ini.

"Aku ingin mengisahkan semuanya, tetapi aku tahu kalian tak akan mempercayai apa yang akan kuceritakan. Sama halnya dengan para hakim yang tak mau memercayai apa yang terjadi sebenarnya. Mata dan nurani mereka gelap  dan menyisihkan nilai-nilai keadilan hakiki karena tertutup oleh gepokan rupiah." Aku memulai kisah dengan memandangi tamu-tamu itu dengan sendu.

"Aku ingat betul malam itu. Jam dinding menunjukkan angka sepuluh. Suamiku belum juga kembali dari pekerjaannya. Biasanya dia akan menghubungiku jika harus lembur. Sementara hujan deras membuat aspal jalanan menggigil. Sesekali cambuk petir menggelegar di ujung kuping. Tak biasanya suamiku terlambat seperti ini.

Aku merasakan kegundahan dan kegelisahan yang tak biasa. Mungkin ini yang dinamakan firasat, tetapi aku tetap berkeras hati untuk menepiskan dari kalbu. Aku tak mau overthinking. 

Diam-diam rangkaian doa hadir dalam hati untuk keselamatan laki-laki yang sangat aku cintai. Awalnya aku akan memberikan kejutan pada suami tentang kehadiran calon jabang bayi dalam rahimku. Terbayang raut kebahagiaan yang akan terpancar di wajahnya karena selama dua tahun ini kami mengharapkan kehadiran buah hati dalam keluarga kecil ini.

Baca juga: Cerpen "Mbatin"

Aku memandang jam dinding yang sudah menunjukkan angka 11 dan sesekali  melihat android yang berisi tayangan CCTV. Waktu sudah beranjak tengah malam. Hujan yang mengguyur bumi masih juga belum berhenti. Aku mendengar suara mobil dari arah pekarangan. Pasti itu Mas Bram, suamiku. Tak sabar aku mengintip dari balik jendela, berharap suara mobil itu adalah benar Mas Bram.

Aku melihat sosok suamiku yang turun dari mobil. Namun, sosok bayangan hitam dengan cepat menghampiri dan menghunjamkan pisau ke dada Mas Bram dan menghilang. Dari mana sosok bayangan hitam itu  muncul dan kemana perginya sosok hitam itu. Peristiwa itu sangat cepat dan membuatku shock.

Tubuh Mas Bram bersimbah darah yang menggenang di pelataran. Bau anyir darah yang bercampur dengan air hujan menyengat hidung. Serta merta aku berlari, memeluk tubuhnya yang tersungkur dan sudah tak sadarkan diri.

"Mas! Apa yang terjadi? Bangun, Mas." Aku memeluk tubuh Mas Bram dan pelan-pelan membalikan tubuhnya.

"Mas! Bangun!" teriakku histeris dan tak tahu apa yang harus dilakukan. Sementara bumantara masih terus bermandi hujan.

"Tolong! Toloooooong!" Teriakanku membahana tetapi tetap saja terkalahkan oleh derasnya hujan disertai petir yang menyambar. Pasti tak ada yang mendengar teriakanku saat itu.

Kemudian sebuah pukulan menghantam tekuk dan membuat pandanganku gelap. Entah apa yang terjadi berikutnya. Aku tersadar saat bias arunika menembus retina dan suara-suara teriakan terdengar sangat keras.

"Panggil, Polisi! Ada pembunuhan di rumah Pak Bram!" teriakan seseorang sangat memekakkan telinga.

"Istrinya sendiri yang membunuh. Tega sekali!" teriakan yang lain membuatku semakin tersadar. 

Pelan-pelan aku bangun dengan memegang leherku yang sangat sakit. Dan aku melihat tubuh Mas Bram sudah terbujur kaku dengan luka menganga di dada, dan sebilah belati dalam genggamanku. Aku tak mengerti mengapa belati itu ada dalam genggamanku.

"Tidak! Mas bangun! Apa yang terjadi?" teriakku histeris sambal melempar bilah belati itu kemudian memeluk tubuh Mas Bram erat.

Aku mendengar suara sirine mobil polisi tiba tepat di hadapanku. Mereka menodongkan pistol dan menangkapku. 

"Jangan tangkap aku,Pak. Bukan aku pembunuh suamiku?" ujarku menjelaskan seraya berontak saat akan ditangkap,"Percayalah,Pak. Bukan aku yang melakukannya?"

"Pisau itu ada digenggaman, Anda. Siapa lagi kalua bukan Anda pembunuhnya?" tolak seorang Polwan sambil memborgol tangan. Aku digelandang ke mobil tahanan dengan cibiran dan tatapan mata tajam dan menghujat para tetangga.

Setelah itu, aku menjadi pesakitan dan menjadi bulan-bulanan media serta masyarakat. Mereka mengecapku pembunuh berdarah dingin. Segala penjelasan yang aku sampaikan tak bisa meringankan hukumanku. 

Aku mengatakan jika ada CCTV yang dipasang di rumah serta mengarah ke pekarangan sebagai bukti bukan aku pembunuh suamiku sendiri. 

Namun, mereka mengatakan bahwa CCTV itu tak berfungsi. Sebuah kebohongan, karena sebelum kejadian, saat aku menunggu Mas Bram di ruang tengah dan sesekali melihat CCTV di layar androidku. Semua berfungsi baik.

Entah konspirasi apa yang sedang berlangsung. Sebagai seorang jaksa, Mas Bram terbilang jujur dan tak mudah disuap.Suamiku selalu menemukan bukti-bukti yang dapat menjerat kaum pendusta dan menyeretnya ke hotel prodeo. 

Oleh karena itu kami sering mendapat teror. Suatu hari ada bangkai kucing yang disimpan di depan pintu rumah. Saat yang lain kaca jendela rumah dilempari batu.

"Mas... aku takut jika harus terus diteror seperti ini. Lebih baik kamu pindah tugas saja," keluhku suatu hari setelah aku mendapati surat ancaman yang dikirimkan lewat surel.

"Kamu harus sabar, ya, Neng. Insyaallah, Allah Swt akan melindungi kita karena kita berjalan di atas kebenaran," hibur suamiku.

Mas Bram selalu mengingatkan aku tentang tugasnya sebagai penegak hukum. Dia yakin jika Allah akan menanyakan pertanggungjawabannya di akhirat. Aku bangga sekaligus khawatir dengan keteguhan sikapnya.

Mas Bram tak pernah menceritakan tentang tugas-tugasnya kepadaku. Mungkin selain dia harus merahasiakan juga tidak mau membuat aku cemas.

Namun, satu minggu yang lalu dia menceritakan sedang menangani kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi dan beberapa anggota dewan yang terhormat. Aku melihat kecemasan tersirat di matanya. Aku menguatkan suamiku untuk tetap bersabar dan kuat.

Sampai malam kejadian itu, aku yakin bila bayangan hitam yang membunuh Mas Bram ada kaitannya dengan kasus itu, Namun, saying aku tak bisa membuktikan kebenarannya. 

Aku harus rela menjadi kambing hitam dari kesalahan yang dilakukan orang lain. Aku divonis sepuluh tahun penjara karena dituduh melakukan pembunuhan suamiku sendiri. Tuduhan yang buatku tak berdasar.

Aku harus melahirkan dan membesarkan anakku di balik jeruji besi ini. Anakku yang tak bersalah pun harus ikut menderita. Dia tak bisa merasakan masa kanak-kanak selayak anak-anak lainnya.

Aku harus menelan pil pahit ini dengan terpaksa. Aku tahu kalian pun tak akan yakin jika aku katakan sekali lagi aku tak bersalah. Aku hanya menjadi kambing hitam dan menanggung resiko dari hal yang tak kulakukan. Tak adil memang.

Masih adakah keadilan itu untukku? Aku tak pernah tahu jawabannya selain memasrahkan hidupku kepada Sang Pencipta. Dialah pemilik keadilan yang sebenarnya.

"Aku tahu kalian tak akan percaya jika aku katakan jika aku tak bersalah, bukan? Lebih baik kalian pulanglah dan tulislah tentang kisahku. Siapa tahu ada tangan malaikat yang mau mengulurkan tangannya untukku."

Aku meninggalkan para pencari berita itu dengan langkah gontai. Aku berharap jika Mas Bram menyimpan bukti-bukti untuk membebaskanku. Atmaku menyimpan asa jika ada seseorang yang akan menolongku agar Derana, putri kecilku dapat menikmati hidupnya..

Jauh di sebuah rumah, sebuah diska lepas dan berkas-berkas penyelewengan beberapa pejabat tinggi dan beberapa anggota dewan yang terhormat, tersimpan aman di dalam kotak dan tertanam di dalam dinding kamar mandi.

Cibadak, 18 Maret 2024
Terinspirasi dari kisah seorang wanita yang melahirkan di penjara 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun