"Pisau itu ada digenggaman, Anda. Siapa lagi kalua bukan Anda pembunuhnya?" tolak seorang Polwan sambil memborgol tangan. Aku digelandang ke mobil tahanan dengan cibiran dan tatapan mata tajam dan menghujat para tetangga.
Setelah itu, aku menjadi pesakitan dan menjadi bulan-bulanan media serta masyarakat. Mereka mengecapku pembunuh berdarah dingin. Segala penjelasan yang aku sampaikan tak bisa meringankan hukumanku.Â
Aku mengatakan jika ada CCTV yang dipasang di rumah serta mengarah ke pekarangan sebagai bukti bukan aku pembunuh suamiku sendiri.Â
Namun, mereka mengatakan bahwa CCTV itu tak berfungsi. Sebuah kebohongan, karena sebelum kejadian, saat aku menunggu Mas Bram di ruang tengah dan sesekali melihat CCTV di layar androidku. Semua berfungsi baik.
Entah konspirasi apa yang sedang berlangsung. Sebagai seorang jaksa, Mas Bram terbilang jujur dan tak mudah disuap.Suamiku selalu menemukan bukti-bukti yang dapat menjerat kaum pendusta dan menyeretnya ke hotel prodeo.Â
Oleh karena itu kami sering mendapat teror. Suatu hari ada bangkai kucing yang disimpan di depan pintu rumah. Saat yang lain kaca jendela rumah dilempari batu.
"Mas... aku takut jika harus terus diteror seperti ini. Lebih baik kamu pindah tugas saja," keluhku suatu hari setelah aku mendapati surat ancaman yang dikirimkan lewat surel.
"Kamu harus sabar, ya, Neng. Insyaallah, Allah Swt akan melindungi kita karena kita berjalan di atas kebenaran," hibur suamiku.
Mas Bram selalu mengingatkan aku tentang tugasnya sebagai penegak hukum. Dia yakin jika Allah akan menanyakan pertanggungjawabannya di akhirat. Aku bangga sekaligus khawatir dengan keteguhan sikapnya.
Mas Bram tak pernah menceritakan tentang tugas-tugasnya kepadaku. Mungkin selain dia harus merahasiakan juga tidak mau membuat aku cemas.
Namun, satu minggu yang lalu dia menceritakan sedang menangani kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi dan beberapa anggota dewan yang terhormat. Aku melihat kecemasan tersirat di matanya. Aku menguatkan suamiku untuk tetap bersabar dan kuat.