"Menjadi seorang isteri dan ibu adalah takdir yang diberikan oleh Tuhan kepada para perempuan yang harus dijalani dengan keikhlasan dan ketabahan karena inilah salah satu pintu menuju surga."
Retno memandang dirinya di cermin kusam panti. Tubuhnya telah renta dengan kulit keriput di sekujur tubuhnya. Kini rambutnya pun  telah meninggalkan dunia hitam.
Pelan-pelan Retno mengusap wajahnya  Dulu parasnya yang ayu telah memukau para pemuda  meski akhirnya cintanya berlabuh pada Prasetyo, mahasiswa teknik pertambangan yang dijuluki pemuda ndeso para mahasiswa.
Prasetyo berasal dari desa terpencil di Gunung Kidul. Karena kecerdasannya, berhasil meraih prestasi dan mendapat bea siswa di jurusan teknis pertambangan. Retno merasa simpati dengan perjuangan dan kegigihan Prasetyo.
 Rasa simpati itu berubah menjadi bunga-bunga cinta. Sampai akhirnya mereka disatukan dalam ikatan janji suci Â
Sederhana, Â mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan kehidupannya dengan Mas Pras.Â
Setelah lulus Prasetyo ditawari pekerjaan di salah satu BUMN Â berkat prestasinya sebagai lulusan summa cumlaude dengan IPK 3,75. Nilai yang nyaris sempurna telah membawa Prasetyo ke lingkungan kerja dengan gaji yang cukup besar.
Prasetyo, suaminya tetap sederhana, meski jabatan di kantornya sudah tinggi dan gaji yang diperolehnya cukup besar. Suaminya tetap mengendarai mobil kantor dan menolak membeli mobil pribadi. Rumah yang dibangunnya pun tak semewah rumah-rumah para pejabat tinggi di BUMN itu.
Retno tetap harus berhemat karena uang yang diberikan suaminya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok dan biaya sekolah Dinda dan Damar, kedua anak mereka.
"Mas, uang yang diberikan setiap bulan kurang mencukupi. Aku minta ditambah ya, agar lebih leluasa mengaturnya. Anak-anak juga membutuhkan biaya tambahan untuk membeli buku-buku dan keperluan sekolah lainnya. Malah Dimas mau ikutan les komputer," pinta Retno suatu hari.
"Hidup itu harus hemat. Tidak perlu berfoya-foya. Yang penting bisa membeli kebutuhan pokok dan membayar sekolah anak-anak. Untuk les dan keperluan beli baju dan lainnya tidak perlu. Belajar saja di rumah. Kamu kan bisa membimbing mereka," jawab Prasetyo pendek.
Retno hanya terdiam. Â Dia merasa selama ini hidupnya sudah sangat berhemat. Retno tidak pernah membeli perhiasan, baju, tas, atau kebutuhan lain seperti istri-istri teman Prasetyo. Retno pun selalu mengerjakan pekerjaan rumah tangga sendiri tanpa bantuan asisten rumah tangga karena uang yang diberikan suaminya tak mencukupi untuk membayar gaji seorang ART. Namun, Prasetyo sangat perhitungan kepada buah hatinya.
"Moso sih, Mbak Yu tak punya uang lebih. Kan Pak Prasetyo itu kepala divisi eksplorasi Lo, Mbak. Gajinya pasti  besar.  Wong suamiku yang hanya pegawai biasa, bisa memberi uang  lebih buat perawatan dan belanja-belanja cantik," ucap Jeng Kinanti saat da mengajak Retno untuk ikut arisan ibu-ibu dharma wanita.Â
Orang mungkin tak percaya dengan apa yang Retno katakan karena memang Prasetyo punya jabatan di kantornya. Jangankan membeli barang-barang mewah, untuk kebutuhan sehari-hari saja masih harus berhemat.
Hingga suatu hari Retno mendengar suara dering handphone. Rupanya tanpa sengaja hand phone Mas Prasetyo tertinggal. Retno membaca nama si pengirim, dari ibu mertuanya. Dia khawatir jika ada sesuatu yang terjadi Lalu Retno menerima telepon itu...Â
 "Assalamualaikum, Pras ibu sudah menerima transferan uang seratus juta buat beli material rumah Gendis. Nanti kalau ada kekurangan kamu harus nambahin lagi ya, Le." Suara ibu terdengar sebelum Retno berbicara. Mungkin dia mengira yang menerima telepon anaknya.
"Mas Pras memberikan uang seratus juta buat biaya membangun rumah adik bungsunya sementara anak dan isterinya disuruh menghemat." pikir Retno dalam hati.
"Kamu memang anak ibu yang baik, Pras. Kamu merenovasi rumah ibu dan Galang sekarang kamu membuatkan rumah untuk adikmu." Suara ibu terdengar lagi," Le ... Pras. Kamu kok diam saja."
Mungkin Ibu heran karena tak mendapat jawaban, akhirnya ...
"Ini aku, Retno, Bu," jawabku lirih," Telepon Mas Pras tertinggal."
"Kamu kok berani-beraninya menjawab telepon, Pras  Tidak sopan kamu," ucap Ibu mertua dengan nada tinggi kemudian mematikan handphonenya.
Serta merta ada sesuatu yang memenuhi ruang dada Retno hingga sesak dan sulit bernapas. Â "Suamiku sudah membohongiku selama ini. Kepercayaan dan kesetiaan yang selama ini telah aku pupuk dalam rumah tangga ini, telah dikhianati bukan karena wanita lain tetapi dengan ibu dan adik-adiknya," keluh Retno dalam hatinya.Â
"Suamiku memberikan sebagian besar penghasilannya buat keluarganya di Gunung Kidul tanpa memberitahu aku." Retno merintih dalam hatinya. Kalbunya tercabik-cabik, hancur.
"Mas, aku minta penjelasanmu,?" tanya Retno sesaat setelah suaminya selesai makan malam.
"Maksudmu?" tanya Prasetyo sambil menatap tajam isterinya.
"Tadi siang ibu menelepon, dia bilang kalau transferan sebanyak seratus juta sudah diterima dan katanya terima kasih karena kamu sudah membangunkan rumah buat mereka." Retno berkata dengan suara yang pelan.
"Oh ... jadi kamu sudah berani menjawab teleponku? Tidak sopan!" ujar Prasetyo marah.
"Aku cuma heran, untuk isteri dan anakmu sendiri kamu sangat berhitung, harus hematlah, harus prihatinlah. Namun, untuk ibu dan adik-adikmu kamu begitu royal sampai membangun dan merenovasi buat mereka. Kamu lihat sendiri, rumah kita kecil, dan butuh renovasi juga," ujar Retno mulai hilang kesabaran.
Malam itu perang hebat terjadi. Prasetyo marah dan memberikan dua pilihan, tetap menjadi isterinya tetapi tidak boleh protes apa pun, menerima apa yang diberikannya atau mengakhiri pernikahan serta anak-anak akan dibawa Pras.
Retno merasa itu bukan pilihan melainkan tuntutan Pras karena dua-duanya tak berpihak kepadanya.Â
Dan lagi-lagi Retno yang mengalah. Dia tak sanggup berpisah dengan anak-anak. Biarlah dirinya hancur asalkan anak-anak bisa mendapatkan kasih sayang utuh. Retno tak mau jika anak-anak mereka menjadi korban pertengkaran orang tua. Retno memilih untuk diam dan menuruti Pras meski dia harus berkorban.
Sejak itu setiap malam Retno selalu dihujani air mata di setiap sujud malamnya. Dia harus bertahan di tengah kehancuran hatinya. Dia tak ingin anak-anak mengetahui jika ibu mereka sedang tidak baik-baik saja.Â
Retno harus tabah dan sabar meski baginya hidup berumah tangga dengan Pras bagai hidup di atas  bara api. Apalagi tekanan dari ibu dan adik-adiknya semakin keras kepadanya dan Pras tak pernah membelanya.
Hingga suatu hari, seorang laki-laki berpakaian seragam dinas kantor Prasetyo datang ke rumah. Laki-laki itu memberitahukan telah terjadi kecelakaan mobil dinas yang membawa rombongan beberapa direksi yang akan meninjau projek di Jawa Tengah. Mobil itu terjun ke jurang dan semua penumpangnya dinyatakan tewas. Salah satu korban adalah Prasetyo, suami Retno.
Tubuh Retno terasa limbung. Kepalanya berputar-putar dan pa dangan  gelap lalu dia tak ingat apa-apa lagi.
Entah apa yang dirasakan oleh Retno saat dirinya tersadar sedang berbaring di ranjang kamarnya. Dia melihat beberapa tetangganya sedang memberikan minyak angin agar dirinya siuman. Di samping Retno, kedua anaknya sedang menangis. Apakah dia harus bahagia karena terlepas dari belenggu Prasetyo atau harus sedih karena kehilangan suaminya?
Sejak Prasetyo meninggal, ibu dan kedua adiknya mengambil harta yang dibelikan Prasetyo untuk mereka. Yang tersisa hanya rumah yang Retno tinggali dan sedikit uang pensiun dan kematian dari para pelayat.
Retno harus bisa menghidupi kedua anaknya yang masih usia SMP dan SD. Untunglah Retno ditawari untuk mengelola lembaga bimbingan belajar milik Sinta, sahabatnya. Dengan ijazah S2 yang belum pernah dipakainya karena dilarang Pras untuk bekerja, Retno mengelola lembaga pendidikan itu dengan sepenuh hati hingga akhirnya maju dan membuka cabang di beberapa tempat.
Dia juga menjadi dosen di salah satu universitas swasta di kota itu. Perjuangan dan pengorbanan ini dilakukan untuk anak-anaknya. Retno menepis godaan dan permintaan dari beberapa pria yang akan melamarnya. Biarlah semua ini Retno lakukan demi anak-anak.
Suara belalang di persawahan depan semakin keras diselingi lolongan anjing yang terdengar di kejauhan. Retno melihat angka di jam dindingnya sudah menunjukkan angka satu. Cukup lama juga dia mengenang perjalanan hidupnya.
Kini Retno sudah tak perlu cemas. kedua anaknya sudah sukses bersama keluarga mereka. Retno memilih membuka yayasan panti para lansia untuk bisa menemani hari-hari tuanya. Retno menolak ajakan putra-putrinya untuk tinggal bersama mereka.
Biarlah sisa hidupnya dia abdikan untuk orang-orang seusianya yang membutuhkan kasih sayang.
Cibadak, 16 Februari 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H